Dwi Oktofianto dan Nandra Khairisna
Pengantar
Selanjutnya, pembicaraan mengenai konflik vertikal menjadi isu krusial terjadi di Papua. Hal yang mendasar dari Negara adalah menciptakan kesejahteraan dan keamanan bukan justru kesengsaraan yang dialami rakyat papua lebih dari 50 tahun bergabung dengan Indonesia. Pada mulanya terangkatnya isu lingkungan sebagai salah satu sumber konflik di Papua bersamaan dengan diawalinya proses ekstraksi tambang emas open-pit terbesar di dunia oleh perusahaan pertambangan Amerika Serikat, Freeport McMoRan Copper & Gold Inc (Michael Renner, 2002: 43).
Hingga saat ini, wilayah pertambangan Freeport di areal Timika menjadi kawasan konflik dan kekerasan antar suku maupun yang melibatkan kelompok bersenjata serta aparat keamanan. Sejarah konflik di Papua diawali sejak penyatuan wilayah Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konvensi penyerahan kedaulatan di Den Haag pada tahun 1949.
Pemerintah Belanda menyerahkan seluruh kedaulatan teritorial Hindia Belanda, kecuali hanya satu yakni Papua. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, the questions on the political status New Guinea are determined through negotiation between the Netherland and lndonesia within a year of the transfer of soaereign! (Dennis C Blair, 2003: 25).
Setelah masa Orde Baru, Indonesia marak akan konflik kekerasaan yang hampir terjadi di tiap-tiap daerah. Mayoritas konflik-konflik tersebut berakar pada persoalan ketidakadilan Sumber Daya Alam dan distribusinya di daerah-daerah yang potensi Sumber Daya Alamnya melimpah ruah. Pengaturan kembali hubungan politik dan ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah, seperti Undang-undang Otonomi Daerah dan Undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, dan Undang-undang Otonomi Khusus Papua (Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001) merupakan salah satu cara untuk meredam konflik yang ditawarkan oleh pemerintah.
Penerbitan Undang-undang Otonomi Khusus Papua dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kepentingan publik, mengakselerasi proses pembangunan, meningkatkan potensi penduduk Papua terutama masyarakat asli, melindungi hak-hak masyarakat asli Papua, dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Papua. Skema pembiayaan untuk menggapai hal-hal tersebut di dapat dari rekomposisi pembagian pendapatan pemerintah pusat-daerah dari Sumber Daya Alam di Papua. Namun sekali lagi, masalah lingkungan sebagai akibat dari ekstraksi Sumber Daya Alam di Papua tidak mendapatkan perhatian optimal dari pemerintah pusat maupun daerah.
Penyebab Konflik Vertikal Solusi Pemecahan Masalah
Selain peristiwa yang terjadi di Timor-Timur salah satu permasalahan pelik yang masih menyita banyak perhatian bangsa dan negara Republik Indonesia hingga saat ini tidak dapat dipungkiri adalah menyangkut gerakan separatisme yang berkembang di Papua. Permasalahan tersebut menjadi isu yang belum menemukan bentuk solusi yang dilandasi suatu strategi yang komprehensif dan bersifat dinamis dalam konteks menyesuaikan dengan perkembangan di Papua.
Gejala disintegrasi, dinamika politik dan keamanan di Papua dapat dikatakan cukup intens dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Seiring dengan era reformasi di tanah air dalam kerangka era globalisasi, isu Papua kembali mengemuka di tataran nasional, regional dan internasional. Selain dampak negatif dari globalisasi, hal ini dikarenakan semakin menonjolnya kepentingan individu dan entitas yang berakibat dalam pola hubungannya dengan negara dan makin kritisnya gugatan terhadap peran negara sebagai pengayom kehidupan warga negara yang berada di dalamnya.
Permasalahan Papua kini masih hadir sebagai isu yang sensitif bagi kedaulatan dan integritas wilayah NKRI, sehingga perlu mendapat perhatian dan pengawasan secara kontinu demi mencegah kecenderungan peningkatan aspirasi pemisahan diri dan demi tercapainya penyelesaian masalah-masalah Papua secara keseluruhan.
Menurut hasil penelitian LIPI yang telah di dirilis beberapa waktu lalu dan kemudian dituangkan dalam Papua World Road Map, ditemukan ada empat akar masalah mendasar konflik, yakni:
- Masyarakat papua merasa termarginalisasi yang diakibatkan oleh terjadi ketidakseimbangan yang dialami masyarakat Papua dalam konteks antara hubungan daerah dengan pusat. Pemerintah pusat seakan memarginalkan masyarakat papua di tanah kelahirannya sendiri, dengan tidak memberikan tempat dan kesempatan yang luas dalam pembangunan padahal secara tidak langsung Masyarakat papua merupakan “penyumbang besar” pendapatan bangsa Indonesia.
- Masalah ketimpangan pembangunan (disparitas deveploment) di Papua,yang sampai saat ini masih sangat dirasakan masyarakat Papua, sampai-sampai Gubernur Papua Barbanas Suebu pernah mengibaratkan Pembangunan di Papua masih seperti Jawa pada masa sebelum Daendels membangun jalan raya dari ujung timur sampai ujung barat.
- Persoalan status politik Papua yang hingga saat ini terus dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Papua dan tokoh adat. Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut misalnya, dalam bukunya yang berjudul “Aspek hukum Adanya Aneksasi Kemerdekaan Kedaulatan Rakyat Papua Menggugat” mengatakan bahwa status hukum dan politik bangsa Papua dan Indonesia sebelum bersatu, masing-masing telah menjadi negara sendiri.
Ia menyebutkan bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sedangkan Papua merdeka pada 1 Desember 1961, dimana momentum Kemerdekaan Papua pada saat itu ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Fajar, berdampingan dengan bendera Kerajaan Belanda. Sehingga, Forkorus menuding Indonesia telah melakukan aneksasi kemerdekaan Papua melalui militeristik dengan pelaksaanaan Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 silam.
- Faktor pelanggaran HAM di Papua. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah pemerintah pusat seringkali menyelesaikan permasalahan di Papua dengan menggunakan pendekatan represif daripada pendekatan preventif, hal ini kemudian dinilai berbagai pihak sebagai sebuah kesalahan besar.
Pendekatan Represif bukan merupakan solusi yang cerdas dalam penyelesaian masalah, karena sebaliknya akan berpotensi menambah masalah. Rakyat Papua sudah terlalu sering tertindas, terintimidasi, termarginalkan sejak lama, untuk itu pemerintah seharusnya peka dalam penyelesaian konflik, sehingga pelanggaran HAM paling tidak bisa diminimalisir.
Pada dasarnya kemiskinan Penduduk Asli Papua bukan merupakan warisan nenek moyang dan leluhur rakyat Papua. Karena sejarah membuktikan bahwa sebelum Indonesia datang dan hadir di Papua, Orang Asli Papua adalah orang-orang kaya, tidak bergantung pada orang lain, mempunyai sejarah sendiri, hidup dengan tertip dengan tatanan budaya yang teratur, tidak pernah diperintah oleh orang lain. Penduduk Asli Papua adalah orang-orang yang merdeka dan berdaulat atas hidup, dan hak kepemilikan tanah dan hutan yang jelas secara turun-temurun. Orang Asli Papua sudah ada di Tanah ini (Papua) sebelum namanya Indonesia lahir. Kemiskinan Penduduk Asli Papua adalah merupakan hasil (produk) dari sistem pemerintahan dan eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan sengaja, sistematis dan jangka panjang atas nama pembagunan nasional yang semu.
Pemerintah mendatangkan penduduk Indonesia yang miskin dipindahkan ke Papua yang dikemas dengan Program Transmigrasi dan di tempatkan di lembah-lembah subur di seluruh Tanah Papua. Perampokan Tanah milik Penduduk Asli Papua dan menyingkirkan (memarjinalkan) mereka bahkan penduduknya dibunuh secara kejam atas nama pembangunan nasional. Penduduk asli Papua dimusnahkan (genocide) dengan stigma Separatisme, OPM dan berbagai bentuk pendekatan kejahatan kemanusiaan.
Dalam rangka mempertahankan dan mengkekalkan ideologi, pemerintah Indonesia selalu menggunakan semua instrumen hukum, Undang-Undang, kekuatan politik dan keamanan untuk memiliki bargaining power di Papua. Pemerintah dengan sukses mengkekalkan, mengabadikan, dan melegalkan secara permanen stigma separatis, makar dan anggota OPM terhadap Penduduk Asli Papua. Semua stigma itu untuk menjastifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Asli Papua. Ruang ketakutan diciptakan sengaja, dipelihara oleh aparat keamanan dengan stigma Separatis dan OPM supaya: (a) Penduduk Asli Papua dibungkam dan tidak berani melakukan perlawanan untuk mempertahankan martabat, demi masa depan yang penuh harapan, lebih baik, damai di atas Tanah leluhurnya; (b) Aparat keamanan mendapat dana pengamanan.
Perilaku dan watak kasar dan tidak manusiawi dan biadab seperti ini menyebabkan Pemerintah Indonesia gagal meng-Indonesia-kan dan mengintegrasikan orang asli Papua ke dalam wilayah Indonesia. Maka Manusia Papua, orang Melanesia ini benar-benar berada di luar bingkai dan kerangka serta konstruksi integrasi NKRI”. Memang, ironis, nasib dan masa depan Penduduk Asli Papua dalam Indonesia. Pemerintah dengan tangan besi, kejam dan brutal, benar-benar menghancurkan harkat, martabat, hak-hak dasar dan masa depan Penduduk Asli Papua di atas Tanah leluhur mereka. Permasalahan tersebut menjadi dasar konflik vertikal di Papua, terdapat 3 aktor dalam konflik vertikal tersebut yakni:
- Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Beberapa kalangan menilai benih dari OPM berasal dari gerakan perlawanan suku Amungme di Abepura terhadap pemerintah pusat karena mengizinkan PT. Freeport Indonesia melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Papua. Gerakan perlawanan dinamakan cargo cult, yang berarti misi suci berlandaskan nilai keagamaan untuk membangkitkan kejayaan masa lampau. Cargo cult merupakan semacam sistem kepercayaan akan datangnya “Ratu Adil”, yang sebagian besar diyakini sebagai perwujudan kepulangan nenek moyang setelah merantau.
Kedatangan “nenek moyang” tersebut sangat dipercayai akan membawa kemakmuran dan keadilan bagi warga Papua. Yang menjadi masalah, kepercayaan ini tidak dipahami oleh para pendatang di Papua, baik bangsa Belanda, Jepang maupun Indonesia. Bagi masyarakat Papua, bangsa luar ini pada awalnya dikira sebagai “nenek moyang’ yang berpulang sehingga diterima dengan gegap gempita, dengan harapan kemakmuran akan datang bagi masyarakat Papua. Namun, dalam prosesnya, ketika para pendatang bukanlah seperti yang dibayangkan, masyarakat Papua merasakan kekecewaan yang mendalam, yang berulang-ulang seiring kedatangan bangsa-bangsa tersebut secara bergantian.
Kekecewaan, bahkan keputusasaan tersebut, menyebabkan masyarakat kembali ke dalam hutan atau pegunungan untuk mengembara, sembari menunggu “nenek moyang” yang asli. Menurut beberapa kalangan, dalam pengembaraannya, juga disertai dengan sikap apatis bila memasuki wilayah-wilayah perkotaan, yang notabene banyak didiami para pendatang.
Kepercayaan di satu sisi, kekecewaan di sisi lainnya, kemudian menyebabkan kedua perasaan tersebut bercampur dan berevolusi, terutama sejalan dengan semakin derasnya para pendatang modern, yang dalam konteks ini adalah Pemerintah Indonesia dan Multinational Corporation (MNC) yang beroperasi di Papua. Tidak hanya itu, evolusi perasaan kekecewaan dan keyakinan tersebut, pada akhirnya berkembang lebih lanjut. Tidak lagi hanya menarik diri ke hutan atau pegunungan, tetapi berkembang menjadi menarik diri dari ikatan NKRI.
Pertanda awal dari kelahiran OPM sendiri adalah serangan sekelompok orang dari suku Arfak ke barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di Manokwari pada tanggal 26 Juli 1965. Gerakan ini dipimpin oleh Sersan Mayor Parmenas Ferry Awon, yang merupakan bekas anggota Batalyon Sukarelawan Papua (PVK atau Papoea Vrijwilligers Korp) bentukan Belanda. Penyerangan ini dipicu oleh penolakan para anggota PVK Batalyon Papua dari suku Arfak dan Biak yang hendak dimobilisasi. Alasan lainnya adalah karena terjadi penahanan terhadap orang-orang Arfak oleh penguasa setempat karena mendesak bantuan pangan dengan cukup keras.
Pemberontakan OPM ini kemudian meluas ke sejumlah Kabupaten di Irian Jaya seperti Biak Numfor, Sorong, Paniai, Fakfak, Yapen Waropen, Merauke, Jayawijaya, dan Jayapura. Aksi pemberontakan ini ditandai oleh tindakan perlawanan fisik dengan menggunakan senjata, penyanderaan, demonstrasi, pengibaran bendera Papua Barat, penyebaran dan penempelan pamphlet, serta berbagai aksi perusakan. Aksi-aksi ini menyebabkan tingginya perlintasan di wilayah perbatasan menuju Papua Nugini.
Perkembangan selanjutnya, OPM berkembang menjadi sebuah organisasi yang menginginkan pemisahan diri dari NKRI. OPM berevolusi menjadi sebuah gerakan separatis yang sedikit lebih terorganisir, walaupun sesungguhnya OPM cenderung bersifat sporadis dalam pergerakannya, yang hingga kini menjadi ciri khas pergerakan organisasi tersebut.
Pada awalnya, OPM dikenal dengan nama “Organisasi dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua” yang dipimpin Terianus Aronggear. Struktur organisasi OPM cukup terorganisir, yang terlihat dari keberadaan susunan kepengurusan, seperti pengurus inti, logistik, panglima perang, komandan sektor militer I-IV serta kepala kepolisian yang berasal dari Pasukan Sukarelawan Papua, yang diberhentikan oleh UNTEA. Selanjutnya, OPM berganti nama, beserta kepengurusannya. Pergantian nama ini timbul setelah terjadinya pemberontakan Kebar dan Arfai yang meletus pada akhir Juli 1965. Sedangkan, pergantian kepengurusan terlihat dari jenis-jenis kegiatan yang kemudian dilaksanakan oleh anggota-anggota OPM.
Dalam mencapai tujuannya, yakni kemerdekaan Papua, kegiatan OPM dibagi atas kegiatan politik dan militer. Kegiatan politik dilakukan di dalam maupun di luar negeri, namun bila dibandingkan dengan gerakan separatis lainnya, kegiatan politik OPM di dalam tidaklah seefektif kegiatan di luar negeri. Hal ini karena pengawasan secara terus-menerus dari pihak militer dan intelijen menyulitkan tokoh/anggota di dalam negeri untuk bebas melakukannya. Untuk kegiatan militer, OPM bergerak di bawah komando Tentara Nasional Papua (TNP) yang dibantu oleh Papua Intelligence Service (PIS), yang bertugas melaksanakan kegiatan memata-matai para pendatang, kegiatan tentara dan pejabat setempat.
Pada setiap bentuk kegiatannya, OPM berkeinginan menjadikan Papua menjadi sebuah negara merdeka dengan Presiden atau Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahannya. OPM menginginkan Papua menjadi negara sebesar PNG atau paling seperti negara-negara di kawasan Pasifik Selatan yang memiliki kesamaan ras dengan Papua, yaitu ras Melanesia. Tampaknya keingingan tersebut dilandasi atas penilaian terhadap negara Fiji yang merupakan negara kecil tetapi mampu menjadi negara merdeka.
Dalam pandangan dan kepercayaan OPM, Papua telah menjadi wilayah merdeka sejak dilepaskan dari Belanda pada tahun 1962. Penyerahan Papua kepada pemerintah Indonesia merupakan mekanisme yang tidak sah, penuh intrik politik yang sesungguhnya merupakan kedok Indonesia untuk menguasai Papua. Penyerangan ini lebih bernuansa kepentingan Indonesia untuk mengeksploitasi Papua, bukan didasarkan pada kepentingan orang Papua sendiri. Pemikiran ini semakin berkembang luas karena masyarakat Papua tetap menderita kemiskinan selama di bawah Indonesia, padahal diketahui bahwa Papua merupakan penyumbang devisa terbesar dari sektor migas untuk Pemerintah Indonesia. Rakyat Papua merasakan kekecewaan dan kebencian seiring dengan penindasan harga diri bangsa Papua.
Hingga kini, bila dihitung sejak tahun 1965, OPM telah beroperasi selama 41 tahun. OPM ternyata mampu bertahan dengan sistem sporadis dalam gerakan bersenjata/militer yang melibatkan masyarakat awam, baik yang melakukannya secara sukarela maupun karena keterpaksaan. TNI memang secara berkala berhasil menumpas gerakan-gerakan sporadis OPM, tetapi tidak mampu menumpas OPM secara menyeluruh tanpa sisa. Hal ini karena OPM mendapat dukungan yang kuat di kalangan masyarakat Papua, yang telah memberikan perlindungan, makanan, serta bantuan menyembunyikan persenjataan. Partisipasi masyarakat tersebutlah yang menjadikan OPM, yang sesungguhnya tidak besar dan memiliki persenjataan yang sangat terbatas, menjadi sulit ditumpas.
Namun demikian di sisi lain, basis pendukung masyarakat Papua yang sangat kuat ini ternyata tidak mampu mendukung keberhasilan OPM untuk mewujudkan keinginannya. Hal ini tampaknya dikarenakan adanya ketidakkompakan di antara para pemimpin OPM, baik yang berada di Papua maupun yang berada di luar negeri. Kondisi ini merupakan kelemahan OPM yang mempengaruhi keseluruhan upaya memerdekakan Papua, selain kekuatan senjata yang sebagian besar merupakan hasil rampasan.
Pergerakan OPM secara politik dan militer mendapat angin setelah kejatuhan Presiden Soeharto, dan dimulai era reformasi. Secara politik, gerakan-gerakan politik OPM sangat leluasa mendekati masyarakat dalam menyuarakan kemerdekaan Papua. Sedangkan secara militer, aksi-aksi kekerasan seolah-olah menjadi marak karena ketika itu TNI berada dalam kondisi kegamangan akibat kekhawatiran melanggar hak asasi manusia.
- Presidium Dewan Papua (PDP)
Perjuangan meraih kemerdekaan Papua juga dilakukan melalui suatu badan yang bernama Presidum Dewan Papua, yang dibentuk pada tahun 1999, dengan kepemimpinan Theys Eluay. Gerakan PDP sangat membahayakan bagi terjaganya integrasi Indonesia, karena PDP mampu atau berhasil menggalang dukungan untuk melaksanakan perayaan kemerdekaan Papua, pengibaran bendera bintang kejora, dan “restu” dari pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Namun demikian, PDP mendapat perlakuan yang sangat berbeda. Berkebalikan dengan pemerintahan Orde Baru, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, PDP mendapat dukungan, bahkan diberikan dana sebesar 1 milyar untuk penyelenggaraan Kongres Dewan Papua. Kebijakan ini tentunya melahirkan sikap pro dan kontra di tanah air, tidak hanya di kalangan nasionalis tulen. Sebagian pihak menilai bahwa kebijakan ini merupakan bentuk pengakuan terhadap kemerdekaan papua sehingga akan menghancurkan upaya Indonesia untuk tetap mengintegrasikan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Paling tidak, dukungan Presiden Abdurrahman Wahid dinilai telah menyebabkan segala upaya yang selama ini dilaksanakan menjadi terputus dan menjadi celah kesempatan bagi pendukung kemerdekaan.
Di pihak lain, langkah Presiden Abdurrahman Wahid dinilai sebagai terobosan baru bagi pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua secara damai, dengan mendukung sebuah upaya yang mencitrakan otonomi khusus, yang terbatas bagi Papua. Pada kenyataannya, kebijakan ini akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah Indonesia sendiri, karena kongres tersebut hanya melibatkan para pendukung kemerdekaan Papua, tidak melibatkan warga Papua secara umum sesuai permintaan Presiden. Presiden Abdurrahman wahid sendiri akhirnya bersaksi di depan DPR dan mencabut keputusannya, yang menandai dimulainya kembali sikap tegas pemerintah pusat terhadap segala bentuk kegiatan PDP.
Kematian Theys, yang banyak dituduhkan dilakukan oleh TNI, kini semakin memperbesar simpati masyarakat Papua terhadap PDP. Walaupun sikap tegas pemerintah dan aparat keamanan menyulitkan pergerakannya, PDP tampaknya terus aktif melakukan gerakan bawah tanah demi menggalang dukungan yang lebih nyata. Kematian Theys menjadi isu yang semakin menyudutkan pihak TNI tidak hanya di dalam negeri, melainkan di luar negeri yang terlihat dari pernyataan-pernyataan sejumlah tokoh/pejabat negara-negara lain yang bersifat memberi tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk transparan dalam pengungkapan kasus tersebut.
- Pemerintah Indonesia (Pusat)
Terus bergeraknya OPM dan meningkatnya simpati bagi PDP menambah kesulitan pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik Papua. Peta politik konflik di Papua menjadi semakin rumit untuk ditemukannya langkah-langkah melindungi integrasi NKRI. Hal ini karena pemerintah tidak hanya berhadapan dengan OPM semata, melainkan juga harus memberikan porsi perhatian yang sama besar terhadap PDP. Keberadaan dua “lawan” tentunya berpengaruh terhadap upaya pengawasan secara ketat.
Perbedaan tipe pergerakan antara OPM dan PDP yang berbeda satu dengan lainnya, menyebabkan pemerintah harus selalu berhati-hati dengan setiap kebijakannya, karena tidak akan ada satupun kebijakan damai yang akan memuaskan bagi semua pihak. Walaupun sebagian kalangan mendesak agar ketidakpercayaan pemerintah terhadap Papua harus dihilangkan demi dihasilkan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan untuk membangun Papua, tidak dapat dihindari sikap ini akan selalu hadir di kalangan pejabat pemerintah karena memang merupakan tugas untuk melindungi keutuhan NKRI dari setiap upaya pemisahan diri.
Akan tetapi, perkembangan berikutnya sedikit menguntungkan pemerintah. Walaupun juga, dapat dikatakan menambah kebingungan. PDP ternyata tidak menimbulkan masalah bagi pemerintah Indonesia, tetapi juga menimbulkan masalah tersendiri bagi OPM. OPM melihat PDP telah banyak melenceng dari tujuan kemerdekaan Papua dan PDP telah menghancurkan jejak perjuangan OPM selama puluhan tahun. Konflik antar keduanya, tampak memuncak ketika Simon Awom yang mengaku anggota OPM, pada 30 Agustus 2000, mendatangi kantor PDP dan Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian (Foreri), dan kemudian menutup kedua kantor tersebut, yang ternyata perintahnya berasal dari Mathias Wenda, Panglima tertinggi OPM/TPM di wilayah Vanimo.
Baik PDP maupun OPM yang selalu menyatakan bahwa klaim Indonesia atas Papua tidak sah, selalu ditangkal oleh pemerintah Indonesia. Pemikiran bahwa Papua adalah bagian terpisah dari Indonesia, Papua tidak seharusnya menjadi bagian dari Indonesia karena Papua bukan wilayah bekas jajahan Belanda, yang kemudian diwujudkan dalam Manifest Politik, sesungguhnya dimentahkan secara historis administratif. Hal ini karena Papua sesungguhnya merupakan salah satu wilayah administrasi Belanda yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Tidore. Atas dasar ini, argumen ataupun perdebatan hukum dari pihak pendukung kemerdekaan dapat ditangkal.
Bagi Indonesia, wilayah Papua telah terbukti secara de facto maupun de jure sebagai bagian dari wilayah Hindia Belanda, yang kemudian menjadi wilayah Indonesia. Sikap ini diperkuat dengan keberadaan peraturan dalam hukum internasional yang dikenal dengan nama Uti Possidetis, yang menyatakan bahwa ketika suatu bangsa menjadi merdeka, maka batas-batas wilayah yang dibuat oleh penguasa kolonialnya tetap dijaga untuk menghindari terjadinya instabilitas perbatasan yang sensitif. Aturan ini juga menegaskan bahwa modifikasi perbatasan hanya dapat dilakukan bila negara induk dan wilayah yang hendak memisahkan diri bersepakat tentang pemisahan yang akan dilaksanakan.
Penutup
Konflik vertical di Papua pada dasarnya merupakan konflik mengenai sumber daya, sehingga diadakanlah peraturan berupa otonomi khusus. Sumber daya alam merupakan daya tarik yang ada di Papua sehingga banyak negara yang “ingin” menguasai sumber daya alam yang ada di Papua, kemudian yang terjadi adalah rakyat Papua sendiri yang merasa dirugikan, karena kesejahteraannya yang masih jauh dari kata layak, sehingga tuntutan kepada pemerintah terus menerus muncul dampai dengan kemudian dibentuklah peraturan otonomi khusus, namun begitu tetap saja belum menyelsaikan konflik tersebut, sehingga muncul isu-isu ketimpangan sosial bahkan adanya gerakan Organsisasi Papua Merdeka.
Daftar Pustaka
Michael Renner. 2002. The Anatom y of Resource wars. World watch Paper.
Dennis C Blair. 2003. lndonesia Commission: Peace and Progress in Pnpua, Report of Independent Commission Sponsored by the Council on Foreign Relation Center for Preventive Action, Council on Foreign Relation. Inc.
Nomensen Freddy Siahaan. 2012. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalization”. Program Magsiter Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta