Analisis Kajian Konflik Vertikal Di Timor-Timur

Home » Artikel » Analisis Kajian Konflik Vertikal Di Timor-Timur
Sumber : unsplash.com
Sumber : unsplash.com

Analisis Kajian Konflik Vertikal Di Timor-Timur

Dwi Oktofianto dan Nandra Khairisna                 

Pengantar

Bahwa sejak tahun 1945, perang sipil atau konflik internal lebih banyak terjadi di dunia daripada konflik antar negara atau internasional. Akan tetapi, pentingnya mempelajari konflik internal dari perspektif global baru mulai dilakukan pasca berakhirnya Perang Dingin. Sejak tahun 1990, mulai banyak perkembangan mengenai riset konflik internal atau perang sipil yang fokus pada faktor etnis, lingkungan, politik, dan ekonomi, seperti yang terjadi pada konflik di Indonesia yaitu kasus Timor Timur (Timor Leste).

Timor Timur merupakan wilayah jajahan Portugis sejak awal abad ke-16. Revolusi Bunga yang terjadi di Portugis pada 25 April 1974 menyebabkan perubahan yang sangat besar terhadap kebijakan politik kolonisasi Portugis di Afrika dan di Timor Timur. Pemerintah Revolusioner mengumumkan kebijakan hak penentuan nasib sendiri yang akan segera diberikan kepada wilayah jajahan Portugis (Avelio M. Coelho, 2012: 2).

Kebijakan yang diimplementasikan oleh Presiden Habibie pada saat beliau menjadi Presiden tidak membuat rakyat Timor Timur puas dan kembali melancarkan aksi protes. Pemerintahan yang saat itu harus memulihkan keadaan Indonesia pasca terjadinya reformasi, merasa telah menyelesaikan permasalahan Timor Timur. Namun karena rakyat Timor Timur belum puas dengan keputusan yang diberikan pemerintah Indonesia, kemudian Presiden Habibie mengeluarkan opsi baru yag diumumkan Presiden Habibie pada tanggal 27 Januari 1999 yaitu merdeka atau berpisah dari Indonesia. Konflik yang terjadi di Timor Timur saat menjadi bagian dari wilayah Indonesia banyak menelan korban jiwa, baik dari pihak Timor Timur, maupun Indonesia. Sehingga fokus dalam tulisan ini adalah korban dari konflik yang terjadi di Timor Timur saat masih berada dalam wilayah Indonesia sebagai provinsi ke-27.

Konflik Vertikal Timor Timur (Timur Leste)

  1. Integrasi Timor Timur ke dalam Wilayah Indonesia

Revolusi Bunga di Portugal pada tanggal 25 April 1974 memberi peluang kepada wilayah-wilayah jajahan Portugal, termasuk Timor Timur untuk memulai proses dekolonisasi. Mulailah orang Timor Timur menyambut kesempatan itu dengan cara membentuk partai-partai politik untuk menentukan nasibnya sesuai ketentuan Resolusi PBB Nomor 1514 dan 1541, yang memungkinkan wilayah-wilayah yang belum berpemerintah sendiri (Non-Self-Governing Teritory) untuk menentukan nasib masa depannya melalui suatu proses referendum untuk memilih tiga opsi, yaitu:

  1. Merdeka sendiri
    1. Berintegrasi dengan suatu negara medeka
    1. Menyatukan diri (asosiasi) dengan suatu negara merdeka

Pada akhirnya terbentuklah partai politik di Timor Timur, Uni Demokratik Timor (UDT), Asosiasi Sosial Demokratik Orang Timur (ASDT) yang kemudian beralih menjadi Front Revolusioner Timor Timur Merdeka (FRETILIN), Perhimpunan Demokrasi Rakyat Timor (APODETI), Persatuan Pejuang Timor (KOTA), Trabalhista yang merupakan partai buruh di Timor Timur.

Kekacauan yang semakin meluas akibat dari proklamasi sepihak yang diumumkan oleh Fretilin ditanggapi dengan penggabungan dari beberapa partai di Timor Portugis, antara lain partai UDT, KOTA, Apodeti dan Trabalhista. Penggabungan dari empat partai politik ini hendak membahas tentang masa depan rakyat Timor Portugis serta keinginan rakyat Timor Portugis untuk bergabung dengan Indonesia.

Gabungan partai ini mengadakan pertemuan yang kemudian menghasilkan sebuah keputusan yang juga disebut dengan Deklarasi Balibo pada tanggal 30 November 1975 Inti dari deklarasi tersebut menyatakan kehendak Timor Portugis untuk bergabung dengan Republik Indonesia.Setelah deklarasi dibacakan, pasukan gabungan keempat partai semakin meningkatkan tekanannya terhadap kedudukan pasukan Fretilin.

Sampai pada 2 Desember 1975, pasukan gabungan dari empat partai telah berhasil mengusai beberapa kota. Fretelin yang ternyata tidak mendapat tempat di hati rakyat, terpaksa memusatkan pertahanan mereka di kota Dili. Untuk menjaga keamanan Timor Timur dari penyerangan pihak Fretilin, pada tanggal 7 Desember 1975 diadakan operasi Seroja oleh pasukan Indonesia di Timor Timur. Dibentuknya operasi seroja dengan pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin yang semakin kejam (Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, 2000: 150).

Perserikatan bangsa-bangsa turut memantau perkembangan situasi yang terjadi di Timor Timur. PBB menaruh perhatian khusus pada permasalahan Timor Timur terutama dengan pengakuan kemerdekaan sepihak yang dilakukan oleh Fretilin tahun 1973. PBB takut akan semakin meluasnya efek domino, terutama setelah jatuhnya Ho Chi Minh City di Vietnam ke tangan komunis dan berdampak dengan diusirnya Amerika Serikat dari Vietnam.

Demi menjaga Timor Timur tidak jatuh ke kantong komunis, Australia dan Amerika Serikat menyetujui keinginan rakyat Timor Timur untuk bersatu dengan Indonesia. Setelah menerima petisi tersebut, Pemerintah Indonesia memproses pengambilan keputusan pengintegrasian wilayah Timor Timur, Kemudian Pemerintah R.I. membentuk dan mengirimkan delegasi untuk memperoleh gambaran secara langsung kehendak rakyak Timor Timur.

Setelah mengadakan peninjaun ke berbagai wilayah di Timor Timur tanggal 29 Juni 1976, kemudian, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pada sidang Pleno DPR-RI secara aklamasi pimpinan dan anggota Dewan menyetujui dan kemudian mengesahkannya dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1976 tanggal 17 Juli 1976.

Dalam Undang-Undang itu dimuat tentang Penyatuan Timor Timur secara de jure kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus pembentukan Timor Timor sebagai provinsi ke-27. Pembangunan infrastuktur seperti jalan raya, tempat ibadah dan tempat umum lainnya mulai dilakukan guna menggantikan kerusakan yang terjadi akibat proses dekolonisasi yang terkatung-katung. Pemerintah juga mulai memetakan sumber daya alam yang tersimpan di Timor Timur untuk dieksplorasi (Domingos M. Soares, 2002: 30)

  • Masalah Timor Timur Dengan Jajak Pendapat

Banyak permasalahan yang diwariskan rezim Orde Baru pada pemerintahan Reformasi, termasuk konflik yang terjadi di Timor Timur. Timor Timur telah menjadi provinsi ke-27 di Indonesia, namun wilayah ini juga belum redam dari konflik. Telah terjadi banyak permasalahan di wilayah Timor Timur selama 21 tahun bersama Indonesia, dari mulai permasalahan pembangunan yang tidak merata di wilayah Timor Timur, pendidikan yang belum merata karena pendidikan hanya bisa didapatkan oleh anak-anak Timor Timur yang berada di kota, sedangkan wilayah desa belum tersentuh pendidikan, dan permasalahan Santa Cruz yang menjadi sorotan dunia internasional. Hingga menumbuhkan benih-benih perjuangan rakyat Timor Timur untuk lepas dari Indonesia. Pendapat lain dikemukakan oleh Mario Viegas Caracaslao, mantan Gubernur Timor Tmur tersebut berpendapat bahwa akar dari seluruh kegelisahan masyarakat hingga melahirkan sejumlah tindak perlawanan pada pemerintah adalah sikap egosentris pemerintah pusat. Pemerintah pusat terlalu ingin memegang kendali, sehingga rakyat merasa semakin menuju sistem komunis yang serba sentralistis (CM. Rien Kuntari, 2008: 105).

Dalam usaha penyelesaian permasalahan Timor Timur, Presiden B.J Habibie mengeluarkan kebijakan untuk memberikan otonomi khusus. Namun nyatanya kebijakan Otonomi Khusus yang diberikan Pemerintah Indonesia tidak dapat meredam gejolak konflik yang semakin meluas. Kondisi Timor Timur yang sedang mengalami krisis kepercayaan akibat dari luka peristiwa Santa Cruz tahun 1991 menjadi ladang subur bagi Fretilin yang masih menyimpan ambisi untuk mewujudkan kemerdekaan di Timor Timur.

Gerakan Fretilin berkembang dengan pesat dan memperoleh banyak dukungan dari masyarakat. Fretilin juga melakukan kegiatan diplomasi ke Negara tetangga, terutama Australia. Australia adalah salah satu negara yang sangat mendukung proses integrasi Timor Timur ke Indonesia, namun saat krisis moneter melanda Indonesia dan Timor Timur ingin mencari dukungan dari Australia yang dilakukan oleh Ramos Horta.

Dunia internasional, khususnya Australia, Amerika dan Uni-Eropa semakin gencar membawa permasalahan Timor Timur dalam agenda Internasional. Timor Timur selalu menjadi agenda rutin dalam sidang PBB. Diplomasi Timor Timur diwakili oleh Ramos Horta yang dengan gencar melakukan lobi-lobi ke Australia hingga Horta mendapat dukungan dari seorang aktivis Australia bernama David Scott yang berhasil maju berbicara untuk memperjuangkan Timor Timur di Forum PBB di New York (Avelio M. Coelho, 2012: 56). Desakan dari dunia internasional, tuntutan dari rakyat Timor Timur, serta konflik yang terjadi di Timor Timur yang menyebabkan banyak jatuhnya korban jiwa merupakan permasalahan yang harus secara cepat diselesaikan oleh Presiden Habibie.

  • Pra Jajak Pendapat di Timor Timur

Pada 29 Januari 1999 kebijakan baru diambil oleh Pemerintah Habibie, yaitu memberikan opsi tambahan pada rakyat Timor Timur, yang sebelumnya hanya diberikan satu opsi, yaitu otonomi khusus, kemudian berkembang menjadi dua opsi, yaitu opsi otonomi khusus yang berarti Timor Timur berada dalam kesatuan NKRI dan diberi otonomi khusus dengan kewenangan luas di bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya, dengan catatan pemerintah pusat memegang tiga kewenangan; politik luar negeri, keamanan eksternal serta moneter dan fiskal, dan opsi merdeka, atau lepas dari Indonesia dan menjadi Negara yang berdaulat.

Bagi presiden Habibie masa depan Timor Timur tidak boleh hanya ditentukan oleh Jakarta, tetapi oleh seluruh rakyat di tanah Loro Sae. Gagasan pemerintah tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah tidak keberatan untuk melepas wilayah Timor Timur jika memang itu kehendak dari rakyat Timor Timur, karena pada awalnya Indonesia bukanlah penjajah Timor Timur, tetapi Timor Timur yang ingin menjadi bagian dari Indonesia. Pemerintah tidak sependapat pada anggapan bahwa melepas Timor Timur akan memicu perang saudara, sebab sejarah panjang Timor Timur memang sarat dengan konflik bersenjata (Avelio M. Coelho, 2012: 228).

Dengan diberikannya dua opsi oleh pemerintah Indonesia, penyelesaian konflik di Timor Timur telah mengalami babak baru. Rakyat Timor Timur memiliki dua pilihan, yaitu opsi pertama, otonomi khusus atau opsi kedua yaitu merdeka. Apabila musyawarah telah mencapai mufakat, dan rakyat Timor Timur menolak otonomi khusus dan memilih memisahkan diri, maka Indonesia akan mengembalikan status Timor Timur sebagai daerah non self-governing territory kepada PBB dan Portugal.

Namun, yang menentukan lepas atau tidaknya wilayah ini adalah rakyat Timor Timur sendiri, sehingga Indonesia tidak bertanggung jawab untuk melaksanakan kemerdekaan, karena sekali lagi, Indonesia bukanlah negara penjajah Timor Timur. Ketika Kebijakan “dua opsi” diumumkan, seluruh rakyat Indonesia sangat terkejut. Telah ribuan nyawa tentara Indonesia melayang, trilyunan rupiah dibelanjakan guna pembangunan wilayah Timor Timur, namun saat Indonesia berjuang keras meredam dan mempertahankan wilayah Timor Timur untuk tetap dalam kesatuan NKRI, tiba-tiba kebijakan Timor Timur dirubah secara drastis.

Suasana Timor Timur menjadi semakin panas, ketika masing-masing kelompok pro-kemerdekaan maupun kelompok pro-integrasi saling melawan, dan usaha dari pihak militer Indonesia untuk meredam pertikaian yang terjadi sehingga sering terjadi jatuhnya korban jiwa. Harus diakui, penyebab dari kerusuhan sesungguhnya adalah rakyat Timor Timur sendiri.

Upaya perdamaian sering dilakukan, dan puncaknya terjadi pada 21 April di Dili. Kelompok pro-kemerdekaan yang diwakili CNRT, Falintil dan kelompok pro-integrasi mengadakan perundingan akibat dari banyaknya kasus kekerasan dan teror yang terjadi. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa masing-masing pihak akan berupaya menghentikan segala bentuk permusuhan, intimidasi, teror dan kekerasan untuk menciptakan suasana damai di Timor Timur (C.M Rien Kuntari, 2008: 60).

  • Jajak Pendapat di Timor Timur

Menindaklanjuti rencana penyelesaian Timor Timur, tanggal 16 Februari 1999 diadakan pertemuan Segitiga antara RI-PBB-Portugal di markas PBB, New York. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa status Timor Timur harus ditentukan sendiri oleh rakyat Timor Timur melalui jajak pendapat. Kemudian tanggal 12 maret 1999 terjadi perundingan yang menghasilkan naskah kesepakatan Indonesia dan Portugal untuk mengadakan pemungutan suara langsung (Makmur Makka, 2012: 229).

Indonesia merupakan penyelenggara jajak pendapat. Peserta yang mengikuti jajak pendapat adalah seluruh warga Timor Timur, warga Timor Timur yang berada di luar wilayah Timor Timur, serta warga Timor Timur yang dapat menunjukkan kartu identitas sebagai warga asli Timor Timur dan berada di luar negeri. Usia minimal untuk mengikuti jajak pendapat adalah 17 tahun. Pendaftaran untuk mengikuti jajak pendapat dibuka pada tanggal 17 Juli 1999. Hingga tanggal 2 Agustus 1999 sebanyak 378.302 warga Timor Timur telah terdaftar untuk mengikuti jajak pendapat yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Agustus 1999 (Koran Kompas, edisi 3 Agustus 1999. “Warga di Luar Tim-Tim Keluhkan Kesulitan Ikuti Penentuan Pendapat”).

Jajak pendapat ini diawasi oleh tim penasihat kepolisian dari enam negara: Amerika Serikat, Jepang, Filipina, Jerman, Inggris dan Australia yang tergabung dalam misi PBB untuk Timor Timur (United Nations Assesement Mission in East Timor – UNAMET) mulai 10 Mei 1999. Tanggal 11 Juni 1999, Dewan Keamanan PBB telah menerima secara bulat Resolusi No. 1246 yang merupakan mandat legislatif bagi Sekjen PBB untuk membentuk dan menggelar misi PBB di Timor Timur (UNAMET) yang bekerja hingga 30 Agustus 1999 guna mengatur dan melaksanakan penentuan pendapat yang dilaksanakan pada 30 Agustus 1999, sesuai dengan persetujuan New York tanggal 5 Mei 1999.

Dalam masalah keamanan telah disepakati tetap berada dalam kendali pemerintah Indonesia. Sebelum jajak pendapat dilaksanakan, UNAMET telah menentukan delapan kota sebagai pusat pendaftaran peserta jajak pendapat, yaitu: Dili, Baucau, Lospalos, Suai, Oecusse, Maliana, Ermera dan Viqueque. UNAMET menentukan masa kampanye tanggal 14-27 Agustus 1999.

Sementara itu, guna mempersiapkan kemungkinan terjadinya kerusuhan setelah pengumuman hasil jajak pendapat, PBB tengah menyusun rencana untuk mendirikan pemerintahan sementara empat tahun di Timor Timur, jika hasil penentuan pendapat dimenangkan oleh pihak pro-kemerdekaan. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa Kofi Annan mengusulkan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB di New York seperangkat kebijakan tentang Timor Timur, yaitu perpanjangan kehadiran UNAMET dari satu, menjadi tiga bulan setelah penentuan pendapat 30 Agustus.

Tanggal 30 Agustus 1999 merupakan hari bersejarah bagi rakyat Timor Timur. Pada hari itu, rakyat Timor Timur memberikan suara dalam jajak pendapat untuk menentukan status wilayah Timor Timur.Pengumuman hasil jajak pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999,hasilnya adalah dari 438.968 suara, sebanyak 344.580 suara (78,2%) memilih berpisah dari Indonesia, dan sebanyak 94.388 suara (21,8%) memilih otonomi khusus.

Hasil yang diumumkan telah menyatakan keinginan rakyat Timor Timur adalah berpisah dari Indonesia dan menjadi negara yang berdaulat. Menanggapi hasil jajak pendapat rakyat Timor Timur, pemerintah Indonesia menghormati keputusan tersebut, karena hasil yang telah diumumkan merupakan perwakilan dari aspirasi seluruh rakyat Timor Timur (Tyas Suartika, 2015: 21).

  • Paska Jajak Pendapat di Timor Timur

Paska jajak pendapat, aktivitas masyarakat Timor Leste masih jauh dari normal. Di sejumlah tempat banyak ditemukan warga yang antre untuk mendapatkan beras, bantuan. Ditempat lainnya juga banyak ditemukan orang antre mendapat pekerjaan. Harga-harga melonjak naik. Beras dijual Rp 50.000 per kg, gula pasir Rp 20.000 per kg, bensin 3.500 per liter. Harga makanan di kantin UNTAET (United Nations Transitional Authority in East Timor) seharga 2-3 US$ (Rp 20.000-25.000). Keadaan ekonomi yang buruk ini akibat dari sistem perdagangan yang lumpuh, masyarakatnya tidak memiliki pekerjaan dan banyak infrastruktur yang rusak akibat bentrokan yang terjadi selama jajak pendapat berlangsung (Koran Kompas, Edisi 29 November 1999. “Timor Timur Merangkak Dari Nol..”).

Kemerdekaan penuh yang kini dimiliki oleh rakyat Timor Leste masih harus melalui proses yang panjang untuk menyiapkan lahirnya Negara yang baru. Rakyat Timor Leste harus kembali membangun rumah mereka yang roboh, harus mencari kembali anggota keluarga mereka yang terpisah, serta harus mencari lahan tempat penghidupan mereka. Dengan dibantu UNTAET yang bertugas membantu persiapan lahirnya Negara Timor Leste sampai tiga tahun setelah proses referendum terjadi.

Penutup

Pada bagian penutup ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam memahami konflik vertikal yang terjadi di Timor Timur serta Papua, terlihat bahwa Indonesia dan Timor Timur merupakan aktor utama yang sudah berpotensi konflik sejak invasi militer Indonesia tahun 1975. Australia baru terlibat dalam konflik di Timor Leste ketika memasuki masa referendum tahun 1999. Konflik yang terjadi di Timor Leste ini semakin meningkat eskalasinya yang dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk, degradasi sumber daya, dan sistem politik represif yang kecenderungannya bisa timbul dan tenggelam setiap saat. Oleh karena itu, upaya penyelesaian konflik di Timor Leste juga harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Sehingga muncul opsi referendum yang merupakan ujung dari permasalahan tersebut.

Daftar Pustaka

Araujo Basilio Dias. 2014. Timor Timur Gagalnya Sebuah Diplomasi Suatu Analisa dan Kritik dari Seorang Pelaku Sejarah.Depok-Jawa Barat: IndiePublishing

Avelio M. Coelho. 2012. Dua Kali Merdeka, Esei Sejarah Politik Timor Leste, Yogyakarta: Djaman Baroe.

CM. Rien Kuntari. 2008. TIMOR TIMUR Satu Menit Terakhir – Catatan Seorang Wartawan. Bandung: Mizan

Domingos M. Soares. 2002.Timor Timur Kasus Paling Memalukan PBB. Jakarta: Setiahati Press

Koran Kompas, edisi 3 Agustus 1999. “Warga di Luar Tim-Tim Keluhkan Kesulitan Ikuti Penentuan Pendapat”, Edisi 29 November 1999. “Timor Timur Merangkak Dari Nol..” (kompasonline.com, diakses 1 April 2017)

Makmur Makka. 2012. Biografi Bacharuddin Jusuf Habibie; Dari Ilmuwan ke Negarawan Sampai ‘Minandito’. Jakarta: THC Mandiri

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. 2000. Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Sejarah TNI Jilid IV (1960-1983). Jakarta: Pusjarah TNI.

Nomensen Freddy Siahaan. 2012. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalization”. Program Magsiter Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tyas Suartika. 2015. Korban Jajak Pendapat di Timor Timur, 1999. Jurnal AVATAR. e-Journal Pendidikan Sejarah. Vol. 3, No. 1, Maret 2015