Faktor-Faktor Penyebab Konflik Vertikal Dan Horizontal

Home » Artikel » Faktor-Faktor Penyebab Konflik Vertikal Dan Horizontal
Sumber : unsplash.com
Sumber : unsplash.com

Hamdani dan Muhammad Abdul Kholiq

Pengantar 

Manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik maupun buruk, manusia dapat berperilaku sangat baik, namun juga dapat berbuat sangat jahat. Luther misalnya mengatakan manusia mempunyai watak jujur dan kejam. Jahatnya watak manusia dan kurangnya kebebasan untuk memilih yang benar merupakan salah satu konsep fundamental dalam keseluruhan pemikirannya.

Misalnya, Luther menganggap adanya kejahatan bawaan dalam watak manusia yang mengarahkan kehendaknya pada kejahatan dan menjadikan seorang tidak mungkin melakukan tindakan baik apapun. Atau meminjam istilah dari Hobbes, homo homini lupus bahwa manusia adalah serigala dari manusia yang lain. Hal ini menunjukkan bahwasannya dalam diri manusia sendiri terdapat watak dasar manusia menuju konflik.

Manusia yang berkonflik sebenarnya mempunyai watak dasar Animal Power atau dalam istilah Ibn Khaldun Hayawaanun Natiqun, yakni dalam diri setiap manusia mempunyai potensi untuk melakukan kekerasan dan penganiayaan. Sigmund Freud dan aliran Freudian mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk rendah yang dipenuhi kekerasan, kebencian, dan agresi, kalaupun kemudian konflik tidak terjadi dikarenakan manusia dalam kehidupan sosialnya terus-menerus mengembangkan superego yang mengekang dorongan-dorongan agresifnya.

Dari uraian di atas, tidak mengherankan jika konflik terus terjadi dalam sejarah peradaban manusia, baik itu konflik yang bersekala kecil ataupun besar. Sejak adanya interaksi manusia, dan dengan adanya sifat dasar manusia tersebut konflik dan kekerasan terus saja muncul yang dilatar belakangi banyak hal, baik etnis, agama, ras, kepentingan golongan dan sebagainya.

Salah satu peperangan zaman pertenghan yang cukup besar dan merenggut banyak korban adalah perang 30 tahun yang terjadi di Eropa.  Perang yang bermotifkan agama tersebut kemudian berakhir dengan perjanjian Wesphalia tahun 1954. Beberapa dampak dari perjanjian tersebut adalah lahirnya negara-negara baru di Eropa yang bersifat modern, di mana pemerintahan tak lagi di kendalikan oleh gereja dan kekaisaran Roma.

Perjanjian tersebut juga mengakhiri perseteruan antara kaum khatolik dan protestan serta kepercayaan lain, di mana masayarakat dibebaskan untuk menjalankan ritual kepercayaan masing-masing. Selain itu perjanjian tersebut juga mengilhami tentang lahirnya hukum internasional. Namun perjanjian tersebut tak lantas menyebabkan masyarakat dan antar negara hidup rukun dan berdampingan. Justru dari peristiwa tersebut juga berdampak pada ekspansi dan ekspedisi negara-negara Eropa di belahan dunia lain yang kemudian menyulut konflik baru.

Pengertian konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.

Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.

Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda (Devito, 1995:381). Robbin(1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:

  1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.

Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.

  • Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota.

Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.

  • Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif.

Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.

Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view):

  1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal.

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.

  • Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai-nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.

Selain pandangan menurut Robbin, Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234).

  1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar.

Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.

  • Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antar pribadi bahkan merusak tujuan organisasi.

Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.

Konflik Menurut Peneliti Lainnya

  1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234).

Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah.

  • Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi.

Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak-pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu terjadi kembali.

Peta Teori Konflik

  1. Teori Konflik Fungsionalisme
  2. Georg Simmel

Dalam bukunya yang berjudul “Conflict & the web of group-Affiliantions” (1955), Simmel memandang konflik sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Dilihatnya sebagai gejala yang mencakup berbagai proses asosiatif an disasosiatif yang tidak mungkin dipisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa. Itu artinya bahwa signifikasi sosiologis dari konflik, secara prinsipil belum pernah disangkal. Konflik dapat menjadi penyebab atau pengubah kepentingan keelompok-kelompok, organisasi-organisasi, kesatuan-kesatuan, dan lain sebagainya.

Dalam kenyataannya, masing-masing penyebab terjadinya konflik. Dengan demikian, konflik ada untuk mengatasi berbagai dualisme yang berbeda, walaupun dengan meniadakan salah satu pihak yang bersaing.

  • Lewis Coser

Lewis Coser dalam bukunya yang berjudul “the Fungtions of social conflict (1956),” yang mana mengemukaan bahwa tidak ada teori konflik sosial yang mampu merangkum seluruh fenomena konflik, mulai dari pertikaian antar pribadi melalui konflik kelas sampai peperangan internasional.

Coser menyatakan, bahwa para ahli sosiologi sering kali mengabaikan konflik sosial dan cenderung menekankan pada sisi yang negatif. Sehingga Coser ingin memperbaikinya dengan cara menekankan pada sisi konflik yang positif yakni bagaimana konflik itu dapat memberi sumbangan pada ketahanan dan adaptasi kelompok, interaksi dan sistem sosial. Definisi ini memfokuskan pada adanya pertentangan memperoleh sumber yang langka, yakni di mana setiap orang berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dari orang lain. Coser mencoba melihat konsekuensi dari sebuah konflik di mana mempunyai dua wajah, pertama, memberikan kontribusi terhadap integrasi “sistem sosial”, kedua, mengakibatkan terjadinya perubahan sosial.

  • Konflik Antar Kelas
  • Karl Mark

Bangunan utama pemikiran Kalrl Marx berdasarkan praanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Dalam permulaan manifesto komunis disebutkan bahwasannya “sejarah semua masyarakat yanga ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”, yang dimaksud kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pasca feodal, sedangkan dalam masyarakat feodal dan masyarakat kuno lebih tepat disebut kasta.

Marx mengkritik masyarakat kapitalis dan membaginya ke dalam dua pembagian kelas, kelas yang berkuasa dan kels yang dikuasai, atau kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas adalah para pemilik modal yang disebut borjuis dan kelas buruh disebut dengan proletar. Bebarapa unsur dari teori Marx yang perlu diperhatikan adalah antara lain; pertama besarnya peran segi structural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas, kedua kepentingan kelas borjuis dan kelas proletar secara objektif bertentangan dan mempunyai sikap berbeda terhadap perubahan sosila. Ketiga, setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi.

  • Ralf Dahrendorf

Ralf Dahrendorf menjadi sangat terkenal semenjak bukunya yang berjudul Class and Class Conflik in Industrial Society. Ralf Dahrendorf merupakan salah seorang yang mengkaji masalah pertentangan antara teori integrasi dan teori konflik koersif.

Ia mengatakan hendaknya dibedakan dua meta teori, pertama, menggambarkan bahwa sistem sosial itu terintegrasi secara  dan menyumbangkan suatu nilai yang mendasar perannya dalam mempertahankan sistem keseimbangan. Kedua, memandang bahwa struktur sosial itu merupakan suatu bentuk organisasi yang dijalankan bersama-sama melalui tekanan dan paksaan secara terus menerus sehingga pada ahirnya melampaui dirinya sendiri dengan suatu pengertian bahwa dalam tekanan itu sendiri akan melahirkan ketahanan dengan proses perubahan yang tiada henti-hentinya.

Lebih lanjut Dahrendorf memandang masyarakat kapitalis modern sebagai suatu masyarakat yang majemuk yakni suatu asosiasi yang terkoordinir secara inperatif. Negara, rumah sakit, perusahaan, partai politik, perserikatan dagang dan kelompok-kelompok tertentu, semuanya merupakan asosiasi dalam pengertian ini. Dalam seluruh asosiasi tersebut terdapat dikotomi yang jelas antara mereka yang memiliki otoritas. Jadi, asosiasi tersebut merupakan ajang dari dominasi dan konfli.

Bentuk-bentuk Konflik

            Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :

  1. Berdasarkan Sifatnya

      Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif dan konflik konstruktif.

  1. Konflik destruktif merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
  2. Konflik Konstruktif merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi. (Robert H. Lauer: 2001).
    1. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik
      1. Konflik Vertikal Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki. Konflik vertikal atau “konflik atas” terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya pada pada level yang berbeda, misalnya antara elite dengan massa (masyarakat). Elite dalam hal ini bisa merupakan para pengambil kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnis, atau aparat militer. Hal yang ditonjolkan dalam konflik ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga menimbulkan korban di kalangan massa (masyarakat). Dalam konflik vertikal, kaitan makro- mikronya lebih cepat diketahui. Seperti di Indonesia, konflik sosial vertikal ini dapat dicermati dari beberapa upaya daerah yang ingin melepaskan diri dari pemerintahan pusat.
        1. Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konfik antar etnis, suku, golongan , agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial.
      1. Konflik Sederhana

Konflik tipe ini masih pada taraf emosi dan muncul dari perasaan berbeda yang dimiliki oleh individu. Ada empat tipe konflik sederhana:

  1. Konflik personal versus diri sendiri adalah konflik yang terjadi karena apa yang dipikirkan atau yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.
    1. Konflik personal versus personal adalah konflik antarpersonal yang bersumber dari perbedaan karakter masing-masing personal.
      1. Konflik personal versus masyarakat adalah konflik yang terjadi antara individu dan masyarakat yang bersumber dari perbedaan keyakinan suatu kelompok atau keyakinan masyarakat atau perbedaan hukum.
        1. Konflik personal versus alam adalah konflik yang terjadi antara keberadaan personal dan tekanan alam.
      1. Konflik Berdasarkan Jenis Peristiwa dan Proses

Kita dapat membedakan konflik berdasarkan jenis peristiwa dan proses. Sebagai jenis peristiwa dikenal beberapa tipe konflik:

  1. Konflik biasa adalah konflik yang terjadi hanya karena adanya kesalahpahaman akibat distorsi informasi. Melibatkan hubungan antarpersonal yang sejawat, awalnya didorong oleh faktor emosi.
    1. Konflik luar biasa adalah konflik yang tidak berstruktur karena sebelumnya kita tidak mempunyai catatan mengenai modus operansinya.
      1. Konflik Zero-Sum, adalah bentuk konflik yang hasilnya satu pihak menang dan pihak lain kalah (win-lose).
        1. Konflik Merusak adalah konflik yang dari proses sampai hasilnya merusak sistem relasi sosial.
        1. Konflik subtantif adalah konflik yang dapat dipecahkan melalui sebuah keputusan bersama.

            Sementara itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai berikut:

  1. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-harapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.
    1. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
    1. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.
    1. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional (Soerjo).

Penyebab Konflik

Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu:

  1. Kemajemukan vertikal adalah struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut. Jadi, distribusi kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan yang pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik.
  2. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara. (M. Setiadi; 2011).

Namun beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, diantaranya:

  1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

  • Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

  • Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

  • Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

Contoh Konflik

Konflik vertikal

            Aceh: konflik vertical yang terjadi di aceh melibatkan antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik tersebut menyebabkan lebih dari 5000 orang meninggal dan sekitar 19.500 orang mengungsi. Penyebab dari kelahiran GAM adalah akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah pusat yang dinilai sangat sentralistik dan telah bertindak tidak adil terhadap masyarakat aceh, baik dalam sektor ekonomi, sosial, maupun politik. Selain itu bangkitnya kesadaran etnik akibat gap yang terjadi antara masyarakat asli aceh dengan masyarakat pendatang yang digugah dan digunakan oleh elit aceh untuk memobilisasi masa depan symbol-simbol tradisional guna melawan pusat.

Konflik Horizontal

            Perang Bosnia merupakan sebuah agresi oleh Serbia terhadap Bosnia sebagai negara berdaulat yang telah diakui secara sah oleh dunia. Serbia menyerang Bosnia-Herzegovina setelah Bosnia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 6 April 1992. Etnis Serbia juga melakukan pembersihan terhadap etnis Muslim dan etnis Kroasia sebagai upaya untuk membangun kembali Serbia Raya di bekas Yugoslavia. Nilai kerugian akibat perang ini tak terhitung lagi dengan angka. Lebih dari 150.000 orang meninggal, lebih dari dua juta jiwa terusir dari rumahnya, gedung-gedung hangus terbakar, serta ratusan masjid dan gereja hancur tak berbentuk lagi. Jumlah itu terus bertambah seiring adanya penemuan dan identifikasi terhadap korban yang dibuang setelah dibunuh oleh milisi Serbia.

            Selain itu, Konflik Agama di khasmir. Konflik berbau agama di Khasmir merupakan konflik yang melibatkan dua negara yang sampai saat ini belum selesai. Konflik ini bermula sejak kemerdekaan India dan Pakistan pada tahun 1947. Raja khasmir saat itu mengalami dilemma apakah akan bergabung dengan India atau Pakistan. Sedangkan sejak awal rakyat khasmir menginginkan bergabung dengan Pakistan, karena secara historis, emosional dan cultural memang lebih dekat dengan Pakistan yang sama-sama beraga Islam. Namun, raja khasmir memutuskan untuk bergabung dengan India. Padahal kalau melihat hasil referendum yang dikeluarkan oleh Inggris, sudah selayaknya khasmir menjadi bagian dari Pakistan. Keputusan sepihak oleh Raja Khasmir membuat pemerintah Pakistan membantu mewujudkan aspirasi rakyat Khasmir untuk gabung Pakistan. Namun pemerintah India bereaksi mempertahankan Khasmir karena karena merupakan wilayah teritorialnya. Akhirnya perang terbuka pun terjadi, dan rakyat Khasmir yang menjadi korbannya.

Daftar Pustaka

Affandi, Hikmatul Ikhwan. 2013. Akar Konflik Sepanjang Zaman. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kumpulan Makalah Diskusi Sejarah Lokal “Pengembangan Sipil dan Konflik Verikal. CV. Suko Rejo Bersinar.

Diamond Larry dan Marc F. Plattner (Ed).1998. Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi. Penerbit ITB; Bandung.

Pruitt G. Dean dan Jeffrey Z. Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar; Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono dan Ratih Lestari. 1998. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi. Sinar Grafika.

Sri Sumartini. Perang Bosnia: Konflik Etnis Menuju kemerdekaan. Program Pendidikan Sejarah UNY. Di unduh 10 Maret 2017