Kajian Konflik Horizontal Di Maluku
Minardi dan Sundari Utami
Pengantar
Kondisi bangsa Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas dan didukung dengan komposisi masyarakat yang heterogen dengan ciri, karakteristik, dan budaya yang berbeda-beda memberikan begitu banyak celah yang menyimpan potensi konflik sangat besar, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal.
Konflik horizontal yang terjadi pada tatanan masyarakat yang memiliki posisi seimbang dilatarbelakangi atas adanya rasa ketidakseimbangan antar satu golongan dengan golongan yang lain sehingga salah satu pihak merasa terancam dan ketika hal tersebut didukung pula dengan permasalahan sosial dan ekonomi yang kompleks, maka heterogenitas akan menjadi bibit konflik yang sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan.
Secara umum penyebab konflik dibedakan menjadi dua hal, yaitu adanya kemajemukan vertikal dan horizontal. Kemajemukan horizontal adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan kemajemukan pada aspek sosial ditunjukkan dengan adanya perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan.
Kemajemukan kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara (Setiadi, 2011).
Faktor-faktor yang berbasiskan pada identitas sangat berkaitan erat dengan ketidakadilan ekonomi dan sosial yang seringkali menghasilkan konflik yang mengakar. Konflik terkait identitas sulit untuk dipecahkan karena memiliki emosi yang mendalam yang mendefinisikan sumber kepuasan dan kebutuhan akan identitas. Meskipun konflik horizontal berada pada tingkat wilayah internal tetapi konflik ini dapat pulamenyebar hingga melewati batas wilayah geografisnya.
Beberapa elemen yang dapat memicu terjadinya konflik horizontal ialah sebagai berikut:
- Elemen identitas: yaitu mobilisasi manusia dalam kelompok-kelompok komunal yang didasarkan atas ras, agama, kultur, bahasa, dll.
- Elemen distribusi: cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial, dan politik dalam suatu kehidupan masyarakat (Bloomfield dan Reilly, 2000)
Jika dipelajari lebih lanjut terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal, kesemua faktor tersebut berorientasi pada adanya perbedaan mendasar pada kehiduapan antar manusia dan antar kelompok. Ketika terdapat suatu konsensus yang dapat memberikan kepuasan pada tiap-tiap individu maupun kelompok maka konflik tidak akan terjadi, ketika konsensus bangsa Indonesia dirumuskan dalam dasar negara Pancasila maka sila-sila didalamnya lah yang berperan sebagai konsensus paling mujarab dalam mengatasi konflik yang ada.
Konflik Maluku
Maluku merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang kaya. Kekayaannya tersebut ada sejak lama, bahkan Bangsa-bangsa di dunia sangat mencari yang dihasilkannya, yaitu rempah-rempah. Walaupun dengan berbagai cara Bangsa Eropa mampu menguasai dan menjadikannya sebagai salah satu pusat pemerintahan selain di Batavia.
Sebelum kedatangan Bangsa Eropa pula, Maluku telah terdiri dari berbagai kerajaan dan penguasa kecil, seperti Bacan, Tidore, Ternate, Joilolo dan lain sebagainya. Tidak jarang diantara mereka terjadi persaingan. Persaingan ini juga berlanjut dalam persaingan dagang. Sehingga mereka memiliki keunggulan tertentu yaitu nilai budaya cinta damai dalam bentuk pela, gandong, duan lolat (nama lambang perdamaian).
Namun karena adanya kebijakan pemerintahan kolonial yang menjadikan Maluku tersegregasi baik secara politik maupun sosio keagamaan (Islam dan Kristen) menyebabkan terjadinya suatu konflik antar masyarakat Maluku (kaum Islam dan kaum Kristen).
Konflik di Maluku pada tahun 1999, menurut sebagaian orang merupakan konflik keagamaan antara Islam dan Kristen. Konflik tersebut merupakan rantai panjang dari adanya ketidakadilan dan marjinalisasi masyarakat akibat kebijakan pemerintah baik kolonial maupun republik. Pada masa pemerintahan Belanda terjadi praktik misionarisai Kristen Protestan kepada warga lokal.
Hal ini merupakan upaya Belanda untuk mengurangi pengaruh Islam Ternate yang masih kuat di Maluku. Keadaan ini kemudian menjadikan Maluku menjadi tersegregasi baik secara politik maupun sosio keagamaan dimana Maluku utara yang masih berada dalam pengaruh Kerajaan Islam Ternate sedangkan Maluku selatan yang berada dalam pengaruh misionarisasi Kristen Belanda.
Selain karena agama yang menjadi sumber konflik, pada masa kolonial banyak mengangkat warga Maluku Kristen untuk menjadi birokrat maupun militer karena Belanda menganggap mereka mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Mereka pun juga disekolahkan oleh pemerintah sehingga mereka menjadi kaum terdidik dibandingkan kaum Islam Maluku yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah karena Belanda dianggap sebagai kafir.
Kondisi keistimewaan kaum Kristen Maluku tersebut kemudian berubah ketika bangsa Indonesia telah merdeka. Kaum Kristen kemudian dicap sebagai separatis oleh pemerintah pusat karena banyak diantara mereka yang tergabung dalam RMS. Hal inilah yang kemudian menguntungkan bagi kaum Islam Maluku yang selama pemerintahan kolonial terdeskriminasi dan termarjinalkan kemudian bisa menguasai birokrasi yang dulu dikuasai oleh kaum Kristen.
Konflik di Maluku ini sangat menarik untuk dipelajari karena didalamnya terjadi berbagai hal yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut yaitu bukan hanya karena agama, tetapi juga karena perpolitikan, birokrasi, perekonomian yang menyebabkan kecemburuan sosial dan pada perkembangannya menyeret agama sehingga menimbulkan konflik besar yang berkepanjangan. Konflik di Maluku pada tahun 1999 telah menyebabkan banyak penderitaa bagi masyarakat Maluku sendiri serta hal ini tetu juga bisa mengancam kedaualatan bangsa Indonesia apabila terjadi disintegrasi bangsa.
Selain adanya islamisasi dalam birokrat, kaum Kristen Maluku juga mengahadapi serangan pendatang baru yaitu pedagang dari Buton, Bugis, dan Makassar yang menguasai perdagangan antar pulau di Maluku. Maka karena merasa terhimpit oleh islamisasi baik dalam birokrasi maupun ekonomi kemudian pecahlah Konflik Maluku pada tahun 1999 sebagai pelampiasan kaum Kristen Maluku terhadap kaum Islam baik kaum Islam Maluku asli maupun pendatang.
Kronologi Konflik
Kronologi konflik di Maluku dapat dibagi menjadi beberapa tahapan. Tahapan pertama mulai tanggal 19 Januari 1999, kedua sejak 24 Juli 1999 dan tahapan ke tiga sejak 26 Desember 1999, mungkin juga kedatangan laskar jihad pada Mei 2000 dapat dijadikan sebagai tahapan keempat.
Tahapan pertama dimulai pada tanggal 19 Januari 1999
Pada tanggal 19 Januari 1999 terjadi suatu pertikaian antara seorang supir angkot dengan seorang preman di terminal bis Batumerah. Kerusuhan tersebut segera cepat meluas menjadi konflik antar orang Islam dan orang Kristen yang ada di wilayah Batumerah dan Galunggung. Keesokkan harinya terjadi kebakaran di berbagai sudut kota Ambon. Gereja Maranatha sebagai pusat pemuda Kristen berikat kepala merah sedangkan Masjid Al Fatah sebagai pusat pemuda Islam berikat kepala putih.
Dalam peristiwa ini orang dagang (Bugis, Buton dan Makassar) yang paling menderita karena tempat usaha mereka di pasar di rusak dan bakar. Sejak saat itu konflik senjata terus berlangsung siang malam. Pada tanggal 14 Februari terjadi serangan oleh orang Islam di Pulau Haruku terhadap orang Kristen di pulau itu juga. Keadaan semakin memanas pada bulan Maret 1999.
Pada 1 Maret terjadi insiden di Masjid Ahuru dimana beberapa anggota Polri dituduk melakukan pembunuhan terhadap orang islam yang sedang sholat. Walaupun hal ini tidak benar tetapi berita tentang hal tersebut sudah terdengar di Jakarta yang mengakibatkan adanya demonstrasi oleh umat Islam.
Kemudian pada tanggal 31 Maret 1999 kerusuhan yang terjadi semakin meluas ke Tual (kepulauan Kei) dan pada tanggal 19-20 April konflik juga meluas ke kepulauan Banda. Tanggal 20 Juni terjadi juga di Waab, Kei Kecil. Lalu pada tanggal 15 Juli terjadi konflik antara negeri Kristen Ulat dengan negeri Islam Sirisori di Pulau Saparua.
Tahapan kedua dimulai pada 24 Juli 1999
Konflik kedua ini bermula dari kerusuhan yang terjadi di daerah Poka Kotamadya Ambon yang selanjutnya menjalar ke kota Ambon. Pada hari pertama terjadi pembakaran diseluruh pusat ekonomi milik Cina sehingga mereka mengungsi dari Ambon. Pada tahapan kedua ini mereka sudah menggunakan senjata api rakitan.
Pada Agustus 1999 sejumlah aparat keamanan menyerang dan membakar gereja Galala bersama umat yang ada didalamnya. Lalu pada tanggal 18 dan 19 Agustus beberapa daerah Islam menyerang daerah Kristen Piru dan berulang lagi pada 2 Desember. Konflik antar aparat kembali lagi pada 3 Oktober di Batumerah. Konflik besar-besaran terjadi di Ambon antara 26 sampai 30 Oktober 1999.
Konflik Periode kedua juga terjadi pada saat pemilu tahun 1999 yang pada waktu itu dimenangkan oleh PDIP. Partai tersebut memiliki kedekatan dengan pemilik yang notabene beragama Kristen karena merupakan gabungan dari Parkindo, PNI dan Partai Nasionalis lainnya yang memiliki basis kuat di Maluku. Kemenangan PDIP tersebut disambut baik oleh komunitas Kristen dan mereka berharap bisa memperoleh kembali kursi di birokrasi melalui PDIP. Kekalahan Golkar maupun partai Islam lainnya yang pada umumnya didukung oleh komunitas Islam telah memunculkan kembali bibit-bibit konflik di Maluku.
Ironisnya justru konflik Maluku yang semula hanya bentrokan dua negeri kini telah memperlihatkan keterlibatan aparat keamanan sebagai aktor lain dalam kerusuhan agama tersebut. TNI yang dekat Golkar sebagai partai pemerintah dianggap lebih memihak Islam, sementara polisi dekat dengan Kristen dengan keadaan seperti ini sudah pasti aparat keamanan tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.
Tahapan ketiga dimulai pada tanggal 26 Desember 1999
Konflik ketiga ini berawal ketika terjadi pembakaran rumah-rumah ibadah baik kaum Kristen maupun Islam yaitu gereja Silo dan Masjid An-Nur. Peristiwa ini memicu konflik di luar kota Ambon yaitu di Masohi, Seram. Dalam konflik ketiga ini para perusuh sudah menggunakan senjata organic milik aparat keamanan. Hal ini dapat terjadi kemungkinan jika ada pihak luar Indonesia yang membantu konflik dalam hal persenjataan.
Meluasnya konflik tersebut menyebabkan adanya Kasus ABRI, Letjen Marasabessymenurunkan tidak kurang dari 18 batalyon untuk mengamankan Maluku Tengah dan Maluku Utara pada bulan Maret. Pada saat itu, setiap hari diadakan razia senjata, memperlakukan jam malam dan perintah tembak di tempat dikeluarkan. TNI AL juga tidak ketinggalan dengan mengerahkan 9 kapal perang dan 5 kapal pengintai untuk mengadakan patroli di perairan Maluku Utara dan Maluku Tengah.
Tahapan keempat yaitu dimulai dengan masuknya Laskar Jihad
Periode keempat konflik anarkisme agama di Maluku yaitu adanya aktor luar Maluku yang ikut “berpartisipasi” dalam konflik tersebut. Adalah masuknya Laskar Jihad ke Maluku yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib dengan 10.000 pasukan menyebabkan ketidakseimbangan kekuatan antara kelompok Islam dan Kristen.
Mereka merupakan pasukan yang memang sengaja dibentuk, dipersiapkan dengan dibekali pelatihan kemiliteran sebelumnya, dilengkapi senjata yang lebih modern dan memiliki dukungan dana yang kuat. Laskar Jihad menilai bahwa ketertindasan umat Muslim di Maluku karena ulah dari kaum “salibis” yan tidak menyukai Islam. Maka terdorong semangat jihad untuk membantu saudara seiman sebagai jiwa korsa, Laskar Jihad mulai melakukan penyerangan terhadap kelompok-kelompok Kristen di bawah komando Alex Manuputty melalui FKM (Front Kedaulatan Maluku) yang memiliki afiliasi dengan RMS.
Kondisi konflik berjalan tidak seimbang terlebih tuduhan afiliasi FKM dengan RMS merupakan gerakan separatisme memberikan angin besar untuk menekan kelompok Kristen. Kondisi konflik yang makin beringas dan menjalar ke luar Ambon. Hal ini kemudian mendorong tokoh-tokoh lintas agama mengadakan pertemuan perdamaian yang menghasilkan Perjanjian Malino II sebagai konsensus kesepakatan perdamaian di Maluku.
Resolusi Konflik
Perjanjian Malino II
Pemerintah pusat memulai perundingan damai antara komunitas Kristen dan Muslim Maluku pada tahun 2002 dengan perjanjian perdamaian Malino II. Pengelolaan konflik pra Perjanjian Malino II sebagian bersifat reaktif. Dimana tidak ada strategi maupun perencanaan jangka panjang baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil.
Alat pengelolaan konflik yang utama adalah pengiriman bantuan dan keamanan serta mengandalkan pada militer yang berasal dari luar Maluku. Perjanjian Malino II merupakan sebuah titik balik yang signifikan yang ditandai dengan pengalihan ke pendekatan pemulihan dan pembangunan.
Adanya Kearifan Lokal pela dan gandong
Konflik dinyatakan selesai oleh Pemerintah Pusat secara sepihak melalui ditandatanganinya Perjanjian Malino II pada tahun 2002-2003. Namun demikian, konflik-konflik minor sendiri masih sering terjadi dalam lingkungan masyarakat. Ditengarai ada beberapa oknum tertentu yang berkepentingan agar Maluku tidak menjadi damai dan secara terus menerus berkonflik.
Konflik-konflik tersebut masih terjadi selang setahun pasca diterapkannya butir-butir kesepakatan dalam perjanjian tersebut, namun tidak berkembang dalam konflik komunal seperti pada rentang 1999-2002. Meskipun konflik meninggalkan memori kelam bagi masyarakat Maluku, proses perdamaian melalui pembangunan reintegrasi dan kohesi sosial pasca konflik sosio-keagamaan juga berlangsung cepat dalam level sosio masyarakat.
Dalam hal ini, peranan local genius berupa revitalisasi pela gandong berperan besar dalam mendamaikan kembali negeri-negeri yang dulunya tersekat-sekat oleh identitas keagamaan untuk kembali membangun persaudaraan kembali. Misalnya saja pemahaman tentang kearifan lokal tentang makna “kitorang samua basudara” (kita semua adalah bersaudara).
Pemahaman tersebut merujuk pada konstruksi bahwa meskipun masyarakat Maluku sendiri terbagi menjadi dua komunitas yakni salam (Islam) dan serani (Nasrani) tetap memiliki satu darah keturunan sama. Revitalisasi konsep tersebut juga dimaksudkan untuk mengikis liyan (the others) yang selama ini menjadi hambatan resolusi pedamaian.
Sebelumnya konteks “kitorang-dorang” (kita dan mereka) mewarnai secara satir gambaran konflik Maluku yang menuntut orang untuk menjadi entitas kedua bagian kubu tersebut. Proses ke-aku-an dan ke-mereka-an memang dilandasi atas sentimen agama Islam dan Kristen. Namun lebih dari itu, bagaimana kita bisa melihat egoisme tersebut menjadi fluid selama proses reintegrasi perdamaian antar agama di Maluku.
Secara garis besar, filosofi katong basudara sendiri berfungsi secara dua arah yakni menjembatani adanya segregasi baik antara komunitas Salam (Islam) maupun komunitas Sarani (Kristen) dan membangun konsensus perdamaian berdasarkan nilai nilai sosio keagamaan yang berkembang dalam ranah setempat.
Adapun gerakan revitalisasi kearifan lokal katong basudara di Maluku sendiri dimulai dengan mendekati tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh di negeri-negeri yang selama ini berkonflik seperti halnya negeri Siri-Sori (Islam- Kristen), Tamilou (Islam), dan Hutumuri (Kristen) yang selama ini berkonflik dikarenakan memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Namun memiliki ikatan darah yang sama karena dilahirkan oleh “rahim yang sama” sehingga hubungan antar negeri tersebut seperti layaknya kakak-adik.
Demikian halnya pula dengan negeri Tulehu (Islam), Sila (Kristen), Laimu (Islam), Paperu (Kristen), Asilulu (Islam), Tial (Kristen), dan Hualilu (Kristen) juga memiliki latar belakang berbeda, namun antar negeri tersebut memiliki hubungan darah. Pembangunan kembali hubungan pela gandong tersebut dilakukan dengan proses simbolisasi pela panas.
Adapun yang dimaksudkan dengan pela panas ialah ritual yang dilakukan menurut adat untuk memperkuat kembali relasi-relasi adat yang selama ini berseteru, namun terikat pada hubungan darah yang sama. Selain halnya pela gandong untuk memperkuat ikatan perdamaian di tataran sosio masyarakat, para raja-raja di beberapa negeri yang selama ini berseteru selama konflik keagamaan berlangsung dipersatukan melalui Forum Lalupati yang gunanya untuk memperkuat kohesivitas hubungan di antara para elite tokoh masyarakat supaya mampu mengkondusifkan suasana perdamaian
Secara lebih lanjut, pela gandong sebagai bentuk kearifan lokal dalam proses perdamaian di Maluku sebenarnya merupakan upaya masyarakat untuk kembali merekapitalisasi modal sosial yang terputus selama konflik berlangsung. Rekapitalisasi berupa pemerkuatan implementasi pela gandong di level sosio-kemasyarakatan adalah upaya mengikis identitas-identitas konflik tersebut.
*) isi dari artikel ini adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi INRES
DAFTAR PUSTAKA
Bloomfield, David dan Ben Reilly. 2000. Demokrasi dan Konflik Mengakar : Sejumlah Pilihan Negosiator. International Idea : Jakarta
Setiadi, Elly. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Kencana Preneda Media Grup.