Model  Paradigma  Dan Instrumen Resolusi Konflik

Home » Artikel » Model  Paradigma  Dan Instrumen Resolusi Konflik
Sumber : unsplash.com
Sumber : unsplash.com

Model  Paradigma  Dan Instrumen Resolusi Konflik

Restu Rahayu dan Yasinta Zulaikha

  1. Definisi dan Pendekatan Teoritik

Konflik adalah suatu kenyataan hidup yang tak terhindarkan. Konflik terjadi ketika ada tujuan-tujuan(goals)yang tidak sejalan dalam suatu komunitas atau masyarakat. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik dapat diselesaikan tanpa kekerasan sehingga menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Konflik berbeda dengan kekerasan, adapun definisninya adalah sebagai berikut:

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, dan berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher et al., 2000).

Gambar 1. Sasaran dan Perilaku Konflik (Fisher et al., 2000)

Pada gambar di atas terdapat variabel, yaitu sasaran dan perilaku. Keempat kotak dalam gambar menunjukkan hubungan antara berbagai sasaran dan perilaku serta implikasinya dalam konteks konflik. Tujuannya adalah untuk menggambarkan tipe-tipe konflik yang menuntun pada berbagai bentuk intervensi. Dalam skenario ini tidak ada situasi yang ideal. Keempat tipe konflik ini masing-masing memiliki potensi dan tantangan sebagai berikut:

  1. Tanpa konflik, secara umum merupakan kondisi yang lebih baik dibandingkan kondisi-kondisi lainnya. Setiap kelompok atau masyarakat hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung maka harus memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan serta mengelola konflik secara kreatif.
  2. Konflik Laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
  3. Konflik terbuka, adalah yang berakar dalam dan sangat nyata,serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar permasalahan penyebab sekaligus berbagai efeknya.
  4. Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, sehingga dapat diatasi dengan meningkatkan intensitas dan efektivitas komunikasi.

Istilah-istilah berikut menunjukkan berbagaipendekatan untuk menangani konflik, yang kadang-kadang dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses. Masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya.

  1. Pencegahan konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
  2. Penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian
  3. Pengelolaan konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
  4. Resolusi konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
  5. Transformasi konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dn politik  yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Gambar 2. Respon terhadap berbagai konflik (Fisher et al., 2000)

Resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu resolusi atau jawaban dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya.

Salah satu teori mengenai berbagai penyebab konflik adalah teori identitas. Teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Konflik identitas, terutama berkaitan dengan identitas etnis, suku, agama, atau yang kerap disebut sebagai konflik primordial terjadi akibat absennya pengakuan dan penghargaan diri dari pihak lain. Padahal pengakuan sekaligus penghargaan memperlihatkan penerimaan pihak lain terhadap sebuah komunitas masyarakat (Sandole et al., 2009:101). Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

  1. Melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik.Mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
  2. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
  3. Model dan Paradigma Resolusi Konflik

Resolusi konflik, mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya. Resolusi konflik berfokus kepada penanganan sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan bisa bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan (Fisheret al., 2000:7).

  1. Resolusi Konflik dengan Pengaturan Sendiri (Self Regulation)

Dalam metode resolusi konflik pengaturan sendiri, pihak-pihak yang terllibat konflik menyusun strategi konflik dan menggunakan taktik konflik untuk mencapai tujuan terlibat konfliknya.  Pihak-pihak yang terlibat konflik saling melakukan pendekatan dan negosiasi untuk menyelesaikan konflik dengan menciptakan keluaran konflik yang mereka harapkan. Pola interaksi konflik tergantung pada keluaran konflik yang diharapkan, potensi konflik lawan konflik, dan situasi konflik. Tidak ada satu pola interaksi yang terbaik untuk semua tujuan dan semua situasi konflik. Berikut dikemukakan pola interaksi konflik dalam upaya mencapai keluaran konflik yang diharapkan oleh pihak yang terlibat konflik.

  1. Win and lose solution

Merupakan strategi yang bertujuan untuk memperoleh kemenangan dengan keinginan untuk mengalahkan pihak lain yang menguntungakan diri sendiri dan merugikan pihak lain. Penggunaan strategi menang-kalah (win-lose solution) tidak dianjurkan karena sering menimbulkan konflik berkepanjangan.

  • Win and win solution

Pada strategi menang-menang (win-win solution) kedua belah pihak berada pada posisi yang menguntungkan karena dalam perundingan diupayakan menciptakan suasana yang memberikan kesan tidak ada pihak yang kalah dengan mengetengahkan pemberian atau keuntungan yang terbaik secara jujur dan adil.

  • Interaksi konflik menghindar

Tujuan dari strategi ini adalah menghindarkan diri dari situasi konflik.Pihak-pihak yang menghindar memiliki kalkulasi bahwa dengan berkonflik tujuan-tujuan mereka tidak akan tercapai, bahkan mengalami kerugian-kerugian lain.  

  • Interaksi konflik mengakomodasi

Interaksi konflik mengakomodasi bertujuan untuk menyenangkan lawan konflik dan mengorbankan tujuannya (mengalah). Interaksi ini menunjukkan tujuan membina hubungan dengan pihak lain lebih penting dibandingkan tujuan-tujuan yang dipertentangkan.

Resolusi konflik megatur diri sendiri dapat menggunakan dua pola, yaitu pola tanpa kekerasan dan pola dengan kekerasan.

a.       Resolusi konflik tanpa kekerasan

Resolusi konflik tanpa kekerasan(non-violent conflict resolution) adalah resolusi konflik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik tanpa menggunakan kekerasan fisik, verbal, dan non-verbal. Resolusi konflik tanpa kekerasan dapat bermanfaat jika pihak yang terlibat konflik saling memerlukan satu sama lain untuk mencapai tujuannya. Salah satu pihak bisa memaksa lawan konfliknya untuk memberikan konsensi dengan diam, tidak melakukan sesuatu yang dibutuhkan lawan konfliknya. Contoh dari penyelesaian ini bisa berupa menolak untuk melaksanakan perintah, mogok makan, demonstrasi secara damai, menolak untuk berpartisipasi, dan pembangkangan publik (civil disobedience).

b.         Resolusi Konflik dengan kekerasan

Resolusi konflik dengan kekerasan (violentconflict resolution) didefinisikan sebagai perilaku pihak yang terlibat konflik yang bisa melukai lawan konfliknya untuk memenangkan konflik. Mereka yang percaya bahwa konflik bisa diselesaikan dengan kekerasan akan melakukan berbagai tindakan kekerasan jika menghadapi konflik. Tindakan tersebut antara lain:

  1. Agresi Verbal

Agresi verbal didefinisikan sebagai penyerangan dengan menggunakan kata-kata kepada lawan konflik atau mereka yang ada hubungannya dengan lawan konflik.

  • Mogok(strike)

Mogok kerja atau pemogokan adalah peristiwa di mana sejumlah besar karyawan perusahaan berhenti bekerja sebagai bentuk protes. Jika tidak tercapai persetujuan antara mereka dengan majikan mereka, maka mogok kerja dapat terus berlangsung hingga tuntutan para karyawan terpenuhi atau setidaknya tercapai sebuah kesepakatan.

  • Sabotase dan vandalisme

Tindakan ini bisa berupa perusakan alat-alat produksi dan produk dengan sengaja. Perusakan alat produksi dilakukan dengan tujuan agar aat-alat tersebut rusak dan tidak bisa digunakan sehigga menimbulkan kerugian.

  • Agresi fisik

Tindakan ini merupakan penyerangan yang bisa menimbulkan luka fisik atau kematian.

  • Intervensi Pihak Ketiga

Terdapat konflik di mana pihak-pihak yang terlibat tidak mampu menyelesaikannya dan telah berlangsung lama serta banyak menghabiskan sumber-sumber yang dimiliki termasuk pengorbanan yang sangat besar. Dalam keadaan seperti ini, intervensi pihak ketiga (third party intervention) diperlukan. Pihak ketiga (intervener) di dalam melakukan intervensi konflik, bisa bersikap pasif menunggu datangnya pihak yang terlibat konflik untuk meminta bantuan atau bersikap aktif dengan membujuk kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik mereka.

Resolusi konflik melalui pihak ketiga merupakan kelanjutan dari intervensi pihak ketiga yang keputusannya tidak mengikat. Keputusan hanya mengikat para pihak yang terlibat sampai pihak ketiga tidak mempunyai wewenang (legitimasi) untuk mengambil keputusan mengenai konflik. Pihak ketiga bisa berupa lembaga pemerintah, lembaga arbitrase yang dibentuk berdasarkan undang-undang, lembaga mediasi hingga pihak ketiga yang dibentuk berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat konflik (Wirawan, 2011:184).

  • Instrumen Resolusi Konflik

Resolusi konflik dilaksanakan dengan berbagai instrumen di antaranya negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Masing-masing instrumen dapat digunakan secara mandiri maupun bersama-sama dalam sebuah resolusi konflik.

  1. Negosiasi

Negosiasi didefinisikan sebagai suatu proses terstruktur yang digunakan oleh pihak yang berkonflik untuk melakukan dialog tentang isu-isu di mana setiap pihak memiliki pendapat yang berbeda. Dalam banyak kasus negosiasi dapat berlangsung tanpa keterlibatan pihak ketiga. Tujuannya adalah untuk mencari klarifikasi tentang isu-isu atau masalah-masalah dan mencoba untuk mencapai kesepakatan tentang cara penyelesaiannya. Negosiasi ini pada prinsipnya berlangsung di antara kedua belah pihak pada tahap awal suatu konflik, ketika jalur komunikasi antara keduanya belum betul-betul putus, atau pada tahap lebih lanjut, ketika kedua pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan tentang syarat-syarat dan rinciannya untuk mencapai penyelesaian secara damai.

Dalam situasi di mana tingkat konfrontasi dan kekerasan menyulitkan bagi kedua pihak untuk sepakat bertemu dan melakukan negosiasi secara langsung, mungkin ada pihak ketiga yang berperan sebagai fasilitator untuk membantu komunikasi secara tidak langsung.Fasilitator ini dapat menyiapkan landasan bagi negosiasi selanjutnya secara langsung.

Untuk mencapai kesuksesan, ada beberapa faktor yang perlu dijadikan pertimbangan dalam proses negosiasi supaya menjadi lebih efektif:

  • Semua pihak bertujuan untuk mencapai suatu penyelesaian.
  • Kemauan dari semua pihak untuk menjajaki berbagai kemungkinan dan bergerak ke arah yang diinginkan.
  • Kekuasaan yang memadai untuk melakukan persuasi sehingga perubahan yang diperlukan tidak memerlukan biaya yang terlalu mahal, tetapi cukup kuat untuk memaksa suatu penyerahan total.
  • Mandat yang jelas dari konstituen yang koheren.
  • Saling mengakui antara pihak-pihak yang melakukan tawar-menawar.
  • Masing-masing pihak menerima aturan main yang sama.
  • Pengakuan terhadap perbedaan legitimasi dan adanya landasan yang sama untuk membangun hubungan.
  • Keyakinan bahwa negosiasi adalah pilihan terbaik yang ada untuk menyelesaikan perbedaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
  • Sumber daya yang memadai untuk menjamin agar hasilnya tidak mendiskreditkan proses tawar-menawar yang digunakan dan mereka berusaha untuk menggunakannya.

Kesuksesan negosiasi akan berupa kesepakatan yang:

  • Sebanyak mungkin memenuhi kepentingan legitimasi semua pihak dan menyelesaikan konflik kepentingan secara adil.
  • Tidak merusak hubungan antara kedua pihak.
  • Bisa dilaksanakan, yaitu kedua pihak harus dapat menerima dan melaksanakan kesepakatan itu.
  • Dimiliki oleh semua pihak dan para pendukunya dan tidak memiliki konsekuensi yang merugikan bagi pemimpinnya.
  • Tidak bersifat mendua, lengkap dan lestari.
  • Dapat dicapai dalam suatu kerangka waktu yang dapat diterima. (Fisher, 2000:115).
  • Mediasi

Mediasi merupakan suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga, sehingga pihak-pihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri. Pihak ketiga ini mungkin adalah sukarelawan, atau seseorang yang diminta oleh kedua pihak untuk menjadi mediator. Dalam berbagai kejadian, mediator ini mungkin dipaksakan oleh suatu organisasi atau suatu sistem, misalnya mediator dari PBB. Namun demikian prinsip utamanya adalah mediator harus bisa diterima oleh kedua pihak. Prinsip-prinsip pokok pendekatan mediasi

  • Mediasi bermotifkan kepedulian terhadap pihak-pihak yang berkonflik.
  • Mediator menjadi terlibat dan terikat dengan kedua belah pihak, dan bukan terlepas dan terpisah serta tidak peduli.
  • Kedua belah pihak harus secara sukarela sepakat untuk berpartisipasi dalam proses dan harus menerima mediator yang ditunjuk.
  • Mediator harus bersedia bekerja dengan kedua belah pihak.
  • Mediasi tidak berusaha untuk mendapat kebenaran objektif, tetapi lebih berupaya untuk mendapatkan solusi yang dsetujui kedua belah pihak dan yang didasarkan atas persepsi dan pengalaman kedua belah pihak.
  • Mediator memandu dan mengendalikan proses mediasi, tetapi harus berusaha untuk mengarahkan isi pembicaraan.
  • Berbagai pilihan untuk menyelesaikan konflik harus datang dari kedua belah pihak sendiri yang harus merasa memiliki kesepakatan yang diambil (Fisher, 2000:117).
  • Arbitrase

Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Menurut Christoper A. Moore (2003), arbitrase merupakan istilah umum proses penyelesaian konflik sukarela di mana pihak-pihak yang terlibat konflik meminta bantuan pihak ketiga yang imparsial (tidak memihak) dan netral untuk membuat keputusan mengenai objek konflik.

Keluaran (output) dari keputusan arbitrase bisa bersifat nasihat dan tidak mengikat atau bisa juga berupa keputusan yang mengikat pihak-pihak yang terlibat konflik. Arbitrase dilakukan oleh satu orang atau suatu panel (tim) pihak ketiga (third party intervention). Arbiter adalah pihak ketiga di luar pihak-pihak yang terlibat konflik-konflik dalam proses arbitrase.  

Arbitrase bisa dikelompokkan menjadi tiga yakni; arbitrase nasional, arbitrase khusus, dan arbitrase internasional. Arbitrase nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik dalam suatu negara. Arbitrase khusus adalah arbitrase untuk menyelesaikan konflik khusus dalam bidang tertentu. Arbitrase internasional adalah arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang berdasarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasional.

Arbitrase umum adalah arbitrase yang bisa digunakan untuk menyelesaikan konflik akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional suatu negara. Umumnya, setiap negara mempunyai arbitrase umum yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Di Indonesia, arbitrase umum adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang dibentuk berdasarkan UU RI No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. BANI bisa juga menyelesaikan konflik yang terjadi akibat kontrak internasional, tetapi semua pihak yang terlibat dalam kontrak internasional tersebut menyatakan tunduk pada hukum perdata Indonesia.

Sebagai suatu profesi, dalam melakukan tugasnya, prilaku arbiter diatur oleh kode etik profesi yang disusun oleh lembaga tempatnya bekerja atau asosiasi arbiter. Kode etik lembaga arbitrase bervariasi bentuknya, tetapi mempunyai sejumlah norma umum yang sama. Berikut ini sejumlah contoh norma yang dipakai dan sejumlah kode etik organisasi profesi arbitrase:

  • Arbiter bekerja atas dasar penujukkan dari pihak-pihak yang bersengketa, tidak mencari pekerjaan dari mereka. Arbiter bersifat pasif (menunggu), tidak aktif mencari pekerjaan.
  • Seorang arbiter mempunyai integritas dan adil dalam melaksanakan tugas. Ia bertanggung jawab tidak hanya kepada pihak yang bersengketa, tetapi juga pada proses arbitrase. Seorang arbiter menerima pekerjaan arbitrase jika ia bisa:
  • Melaksanakan tugasnya secara imparsial atau tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa.
  • Melayani secara independen dari para pihak, saksi dan arbiter lain.
  • Kompeten untuk melaksanakan tugas.
  • Menyediakan keahlian, pikiran dan waktu sepenuhnya untuk melaksanakan tugasnya.
  • Tidak mempunyai kepentingan akan suatu konflik (conflict of interest) dalam kaitan kasus yang diselesaikannya.
  • Dalam memimpin proses arbitrase, arbiter harus berprilaku sopan, santun, tegas dan bijaksana kepada semua pihak yang bersengketa.
  • Mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum serta rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono) bukan berdasarkan prasangka (suka atau tidak suka).
  • Menjaga kerahasiaan (confidentiality), yaitu tak pernah mendiskusikan hal yang terjadi dalam proses arbitrase kepada orang di luar pihak yang bersengketa.
  • Dalam melaksanakn tugasnya, arbiter mendapatkan remunerasi yang diberikan oleh lembaga arbitrase dan tidak boleh meminta tambahan dari pihak-pihak yang bersengketa.
  • Berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan putusan dalam waktu yang telah disepakati atau ditentukan (Wirawan, 2011:214-222).
  • Resolusi konflik melalui proses peradilan

Dalam resolusi konflik melalui pengadilan perdata, salah satu pihak atau kedua belah pihak yang terlibat konflik menyerahkan solusi konfliknya pada pengadilan perdata di Pengadilan Negeri melalui gugatan penggugat kepada tergugat. Pihak lainnya yang memiliki hubungan dengan objek sengketa bisa juga mengintervensi proses pengadilan. Hakim kemudian memeriksa kasus tersebut dengan menggunakan Hukum Acara Perdata. Proses pengadilan umumnya didahului dengan permintaan hakim agar kedua belah pihak berdamai terlebih dahulu. Jika perdamaian tidak tercapai, hakim akan memeriksa kasusnya dan mengambil keputusan. Keputusan hakim bisa berupa win – lose solution atau win – win solution. Jika salah satu atau kedua belah pihak tidak puas dengan keputusan hakim tersebut, mereka bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Jika keputusan hakim pengadilan tinggi tidak memuaskan, mereka bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di Mahkamah Agung, keputusan untuk peninjauan kembali bisa dimintakan jika ada bukti baru (novum). Konflik anatara Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan warga negaranya bisa juga dibawa ke Pengadilan Perdata. Hukum acara juga Hukum Acara Perdata.

Konflik antara subjek hukum (warga negara, organisasi, atau lembaga negara) mengenai undang-undang diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). MK juga menyelesaikan masalah yang timbul karena pemilihan umum. Keputusan MK final dan tidak bisa dimintakan banding. Jika konflik berkaitan dengan peraturan pemerintah atau peraturan daerah, konflik bisa diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Keputusan MA final dan tidak bisa dimintakan banding.

  • Resolusi konflik melalui proses administrasi

Resolusi konflik melalui proses administrasi adalah resolusi konflik melalui pihak ketiga yang dilakukan oleh lembaga negara –bukan lembaga yudikatif- yang menurut undang-undang atau peraturan pemerintah diberi hak untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik dalam bidang tertentu. Resolusi konflik model ini banyak digunakan dalam bidang bisnis, ketenagakerjaan, lingkungan, dan hak asasi manusia di Indonesia.  

  • Resolusi konflik melalui proses atau pendekatan legislasi

Resolusi konflik melalui pendekatan legislatif adalah penyelesaian konflik melalui perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif. Konflik yang diselesaikan dengan cara ini adalah konflik yang besar dan meliputi polpulasi yang besar, tetapi mempunyai pengaruh terhadap individu anggota populasi. Dalam konflik mengenai batas daerah dan konflik pemekaran wilayah misalnya, bisa diselesaikan melalui dikeluarkannya undang-undang dan/atau peraturan pemerintah.

Penyelesaian konflik melalui pendekatan legislatif ini memerlukan waktu. Proses legislasi memerlukan penyusunan naskah akademik, penyusunan draf undang-undang, dan pembahasan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah pembuatan undang-undang, diperlukan peraturan-peraturan pelaksana agar menjadi pedoman legal-formal implementasi resolusi konflik.

DAFTAR PUSTAKA

Fisher, Simon. 2000. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta: The British Council Indonesia.

Moore, Christoper W. 2014. The Mediation Process: Practical Strategies For Resolving Conflict. San Francisco: Jossey-Bass.

Sandole, Dennis; Sean Byrne, Ingrid Sandole-Staroste, and Jessica Senehi. 2009. Handbook of Conflict Analysis and Resolution.  New York: Routledge.

Wirawan. 2011. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Empat.