Oleh: Suyatno
Secara umum Pemilu merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dengan cara membentuk suatu pemerintahan yang legitimate. Bahkan pemilu merupakan sarana untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Agar terbentuknya pemerintahan yang legitimate, maka proses pelaksanaan Pemilu harus demokratis. Untuk melihat demokratis atau tidaknya suatu pemilu perlu melihat pola kompetisi antar kontestan, sudahkah berjalan kompetitif atau belum. Sehingga Pemilu dan demokrasi merupakan dua kutub yang tidak bisa dinegasikan. Oleh karena itu di dalam demokrasi modern memerlukan Pemilu sebagai regenerasi elite politik, dan harus bersifat demokratis. Kedua hal tersebut telah memunculkan istilah bahwa Pemilu merupakan suatu ajang pesta demokrasi. Sebagai suatu pesta demokrasi maka hajatan besar tersebut harus bersifat demokratis dan lepas dari suatu intimidasi dari pihak manapun, serta adanya kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya merupakan sifat dari Pemilu itu sendiri.
Semenjak Indonesia merdeka sudah melaksanakan Pemilu sebanyak 12 kali dalam skala nasional. Dalam suatu proses Pemilu munculnya politik transaksional sangat dimungkinkan. Bahkan pasca reformasi, politik transaksional sangat sarat dalam kontestasi pemilu. Dari money politik, serangan fajar hingga bentuk-bentuk transaksi yang lain. Politik transaksional yang dilakukan oleh kandidat atau partai politik merupakan cara untuk memobilisir massa agar menyalurkan aspirasinya kepada pihak bersangkutan. Hal ini bukanlah suatu wadah untuk mobilisir massa dalam bentuk pendidikan politik. Mobilisir massa tersebut lebih bersifat kedalam politik praktis. Oleh karena itu benar apa yang dikatakan oleh Marijan (2010), bahwa hal tersebut akan mengarahkan perilaku pemilih kedalam rasional material, bukan gagasan rasional. Didalam menentukan pilihannya, pemilih lebih mempertimbangkan perolehan material dari partai politik maupun kandidat ketimbang gagasan atau visi-misi yang diusung oleh partai politik.
Pada dasarnya kontestasi Pemilu sendiri akan memunculkan ekspektasi rakyat sekaligus sikap skeptis. Banyak kalangan yang berharap agar pemerintahan yang terbentuk kelak benar-benar merepresentasikan aspirasi rakyat dengan sungguh-sungguh. Selain harapan, juga memunculkan pandangan negatif dari kelompok-kelompok tertentu dengan adanya penyelenggaraan hajatan besar tersebut. Mereka beranggapan dengan adanya pergantian pemerintahan lewat Pemilu tidak merubah kondisi Indonesia semakin baik, justru semakin memburuk. KKN, penegakan hukum yang tidak adil, pendidikan semakin mahal, kemiskinan masih saja menyelimuti bangsa kita. Itulah beberapa contoh yang menjadi permasalahan pelik negara kita. Walaupun diberapa hal sudah teratasi, namun penyelesaian dan penanggulangan masih belum maksimal. Terhadap permasalahan tersebut dapat memunculkan sikap golput dari masyarakat atau pemilih.
Minimnya pendidikan politik terhadap masyarakat, agregasi, artikulasi dan advokasi yang notabene merupakan fungsi dasar partai politik sudah mulai dihiraukan telah menjadikan rakyat bersikap skeptis terhadap partai-partai politik. Sikap tersebut dapat memunculkan rakyat atau pemilih berperilaku apatis atau golput dalam Pemilu. Bahkan angka golput dari pemilu ke pemilu di era reformasi semakin meningkat. Pada Pemilu 1999 angka golput mencapai 10, 21 %, dan pada pemilu 2004 mencapai 23, 34 %, sedangkan pada Pemilu 2009 angka golput semakin tinggi yaitu 29,04 % (kpu.go.id). Tingginya angka golput bisa dimaknai sebagai bentuk ketidakpercayaan publik terhadap ritual Pemilu, sehingga mereka bersikap apolitis. Hal itu terjadi sangat dimungkinkan setelah para kandidat terpilih menjadi wakil rakyat tidak sedikit yang lupa terhadap janji-janjinya semasa kampanye. Permasalahan tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk golput yang bersifat politis. Selain itu masih terdapat sifat golput dalam bentuk teknis.
Banyaknya masyarakat atau pemilih yang merantau dengan kesibukan akan urusan pekerjaan, pendidikan ataupun urusan lain (pribadi) yang menyebabkan mereka tidak bisa datang ke TPS guna menyalurkan aspirasinya. Walaupun KPU sebagai panitia penyelenggara maupun partai politik dan pihak kontestan sudah berusaha melakukan pendidikan dan sosialisasi politik, namun hal itu masih bersifat minim dan biasanya hanya ketika menjelang pemilu saja atau tidak bersifat kontinyu, sehingga tidak efektif. Walaupun pendidikan politik telah dilaksanakan secara konkret, namun belum tentu dapat mengurangi angka golput. Mengutip Kitschelt (1989), hal itu dapat terjadi apabila logika ber-partai yang dibangun hanya sekedar untuk memenangkan pemilu ketimbang memperjuangkan aspirasi atau kepentingan rakyat.
Untuk meminimalisir angka Golput, KPU telah memberikan kesempatan kepada setiap orang yang berasal dari luar daerah atau yang sedang tinggal di daerah perantauan untuk dapat menyalurkan aspirasinya dalam pemungutan suara. Hal tersebut telah dimaknai sebagai bentuk pemilih khusus dengan tujuan dapat meminimalisir angka golput. Pemilih yang berasal dari luar daerah terlebih dahulu melakukan proses pendaftaran, kemudian akan didata oleh KPU dan wilayah setempat supaya terdaftar sebagai pemilih di wilayah tersebut. Aspirasi yang disalurkan pendatang tidak masuk kedalam dapil daerah asalnya. Harus kita apresiasi upaya yang dilakukan oleh pihak KPU dengan membuka pemilih khusus agar angka golput dapat terminimalisir. Melalui upaya tersebut dapat menjawab permasalahan golput, baik secara teknis maupun politis. Selain upaya mengakomodir pemilih khusus yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, mestinya partai politik turut semakin aktif dalam meminimalisir angka golput.