Ras, Etnik, Sub-Etnik dan Kebudayaannya, serta Dinamika Wilayah Pengaruh Masing-Masing: Indonesia sebagai Masyarakat Multikultural

Home » Artikel » Ras, Etnik, Sub-Etnik dan Kebudayaannya, serta Dinamika Wilayah Pengaruh Masing-Masing: Indonesia sebagai Masyarakat Multikultural
Sumber : unsplash.com
Sumber : unsplash.com

Ras, Etnik, Sub-Etnik dan Kebudayaannya, serta Dinamika Wilayah Pengaruh Masing-Masing: Indonesia sebagai Masyarakat Multikultural

Alfian Nurdiansyah

Pengantar

Sebagai negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat, Indonesia memiliki jumlah etnis dan sub-etnis tidak kurang dari 1.072[1]. Sebagian besar kelompok etnik memiliki anggota dalam jumlah kecil. Hanya 15 kelompok etnik yang memiliki anggota dalam jumlah di atas satu juta jiwa. Etnis Jawa yang jumlahnya kurang lebih 83,8 juta jiwa mendominasi jumlah dan tersebar distribusinya. Etnis Sunda berjumlah 30,9 juta dikelompokkan tersendiri, demikian juga etnis betawi, dan banten. Di belakang etnis Jawa menyusul etnis Melayu, Madura, Batak, Minangkabau, Bugis, Banjar, dan Bali.

Indonesia juga multikultural dilihat dari sudut adanya komunitas masyarakat yang hidup di pedesaan, pegunungan, lembah, dataran, dan pantai yang dapat hidup berdampingan. Agama dan kepercayaan yang di anut juga menambah keragaman dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, meskipun Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia. Begitu pula perbedaan masyarakat kota yang metropolitan dapat hidup dengan komunitas multikultural, kerena berorientasi pada budaya modern yang globalized dan masyarakat pedesaan. Peningkatan keragaman budaya masyarakat juga terjadi berkaitan dengan proses migrasi. Faktor-faktor semacam migrasi desa-kota, migrasi interinsular, migrasi pekerja asing, turisme, dan perdagangan internasional. Proses migrasi tersebut mengarah pada peningkatan keragaman etnik, agama, dan ras. Meningkatnya heterogenitas komposisi penduduk acapkali menimbulkan friksi sosial, ekonomi, dan politik, dan dapat menimbulkan kompetisi serta konflik yang membahayakan (Sunarto, 2003)[2].

Makna masyarakat Indonesia yang ‘Bhinneka Tunggal Ika’ diakui saat ini telah mengalami pergeseran yang cukup berarti. Bila pada masa kekuasaan Orde Baru diartikan sebagai keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, tetapi dalam masyarakat kultural Indonesia konsep tersebut diartikan sebagai keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat majemuk (plural society). Pergeseran makna kebhinnekaan dalam masyarakat itu adalah konsep ideologis khusus yang merujuk kepada konsep multikultural. Tuntutan pengembangan multikulturalisme menjadi menguat di Indonesia setelah berbagai daerah di Indonesia mengalami pergolakan antar etnis dan konflik kepentingan dan rasa keadilan. Dengan pergeseran ini masyarakat multikultural kemudian menjadi wacana yang sangat relevan bagi pengembangan masyarakat Indonesia baru. Salah satu ciri masyarakat multikultural adalah pengakuan dan perayaan perbedaan dalam kesederajatan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kebudayaan. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan tentang multikulturalisme di Indonesia, dan tantangan yang harus diantisipasi untuk masa mendatang, bagaimana kemajemukan etnis di Indonesia dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi suatu nilai tambah Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar. Dalam perspektif ketahanan nasional, penulis beranggapan bahwa konsep wawasan nusantara sangat harus segera di maksimalkan implementasinya dalam kehidupan nasional dan pembangunan nasional.

Manusia, Keragamaman dan Kesederajatan

Manusia sebagai makhluk budaya yang berkemampuan menciptakan kebaikan, kebenaran, keadilan, dan bertanggungjawab. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaa, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya. Manusia sebagai pencipta kebudayaan. Tercipta atau terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala isi alam semesta ini. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena ada manusia sebagai penciptanya dan manusia dapat hidup di tengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendukungnya. Dialektika ini didasarkan pada pendapat Peter L. Berger yang menyebutkan dialektika fundamental yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap eksternalisasi merupakan proses pencurahan diri manusia secara terus-menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mental. Tahap objektivitas merupakan tahap aktivitas manusia menghasilkan suatu realitas objektif, yang berada diluar diri manusia. Tahap internalisasi merupakan tahap dimana realitas objektif hasil ciptaan manusia, diserap oleh manusia kembali. Jadi, ada hubungan berkelanjutan antara realitas internal dengan realitas eksternal[3].

Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk dan dinamis, ditandai oleh keragaman suku bangsa, agama, dan kebudayaan. Keragaman tersebut merupakan kekayaan budaya yang membanggakan, tetapi disisi lain mengandung potensi masalah yang terus berkembang menjadi polemik yang nyata bagi bangsa Indonesia. Keragaman yang dimaksud disini adalah suatu kondisi dalam masyarakat dimana terdapat perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang, terutama suku bangsa dan ras, agama dan keyakinan, ideologi, adat kesopanan, serta situasi ekonomi. Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk dan dinamis, antara lain ditandai oleh keragaman suku bangsa, agama dan kebudayaan. Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia memiliki keragaman suku bangsa yang begitu banyak, terdiri dari berbagai suku bangsa, mulai dari Sabang sampai Merauke, ada suku Batak di Sumatera Utara, suku Minang di Sumatera Barat, suku Madura di Jawa Timur, suku Dayak di Kalimantan, suku Bali di Pulau Bali, suku Toraja di Sulawesi, suku Ambon di Pulau Ambon, suku Asmat di Papua, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Demikian juga halnya dengan agama, di Indonesia terdapat beragam agama yang dianut oleh bangs Indonesia, mulai dari agama Islam, Kristen, katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, yang kesemuanya diakui oleh Pemerintah keberadaannya. Umat beragama dapat menjalankan ritual keagamaannya sesuai dengan ajaran agama dan keyakinannya masing-masing dengan baik, aman dan tertib. Bahkan ada toleransi umat beragama, dalam artian tidak saling mengganggu diantara umat beragama dalam menjalankan kegiatan keagamaannya. Keberagaman suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia juga melahirkan budaya yang beragam, dimana antara corak budaya pada suku bangsa yang satu berbeda dengan corak budaya suku bangsa yang lain. Keragaman tersebut merupakan kekayaan budaya yang membanggakan, yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Kesederajatan berasal dari kata sederajat yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya adalah sama tingkatan (pangkat, kedudukan). Konteks kesederajatan disini adalah suatu kondisi dimana dalam perbedaan dan keragaman yang ada, manusia tetap memiliki satu kedudukan yang sama dan satu tingkatan hierarki.Di dalam Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat. Tuntutan atas kesamaan hak bagi setiap manusia didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Berdasarkan dari pemahaman tersebut seyogianya sikap-sikap yang didasarkan pada etnosentrisme, rasisme, religius fanatisme dan diskriminasi harus dipandang sebagai tindakan yang menghambat pengembangan kesederajatan dan demokrasi, penegakan hukum dalam kerangka kemajuan dan pemenuhan HAM. Sementara itu di dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Maka jelas lah bahwa setiap manusia memiliki harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dan sederajat, termasuk perlakuan yang sama dalam bidang apapun tanpa harus membedakan jenis kelamin, ketirunan, kekayaan, suku bangsa, dan sebagainya.

Kemajemukan dan Etnisitas di Indonesia

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan bahasa. Kemajemukan ini terjalin dalam satu ikatan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat. Selain didasari oleh latar belakang sosial budaya, geografis dan sejarah yang sama, kesatuan bangsa Indonesia juga didasari oleh kesatuan pandangan. ideologi dan falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pandangan, ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia secara holistik tercermin dalam sila-sila Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Sedangkan kesatuan pandangan, ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia secara eksplisit tercantum dalam lambang negara yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna “beraneka ragam (suku bangsa, agama, bahasa) namun tetap satu (Indonesia). Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang jarang dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Masing-masing suku bangsa di Indonesia mempunyai adat-istiadat dan kebudayaan khusus tersendiri yang menjadi identitasnya. Hal ini bukan berarti bahwa adanya berbagai suku bangsa dengan berbagai kebudayaan khusus harus dihilangkan dalam pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses yang direncanakan dan diinginkan, harus mempertimbangkan adanya berbagai suku bangsa dan kebudayaan khusus tersebut. Pembangunan seyogyanya dilaksanakan berlandaskan kenyataan tersebut yang diserasikan dengan kepentingan nasional.

Data hasil Sensus Penduduk 2010 yang mencakup beberapa karakteristik kemajemukan penduduk, antara lain kewarganegaraan, suku bangsa, agama dan bahasa sehari-hari merupakan sumber data strategis untuk kebutuhan perencanaan pembangunan yang bertumpu pada kearifan dan kebijakan lokal. Perencanaan pembangunan ini juga diharapkan akan mampu mengakomodir modal sosial yang dimiliki masyarakat sebagai salah satu potensi untuk dimanfaatkan secara nasional. Di lain pihak, keberadaan data-data tersebut juga dapat memberikan gambaran secara holistik komposisi penduduk menurut variabel-variabel kemajemukan (kewarganegaraan, suku bangsa, agama dan bahasa) dan dinamika serta perubahan sosial budaya penduduk Indonesia. Salah satu dinamika sosial budaya masyarakat yang penting untuk diamati adalah adanya proses akulturasi antara lain berupa perkawinan campuran dan asimilasi kebudayaan.

Di bawah ini akan disampaikan komposisi penduduk Indonesia berdasarkan data yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia yang dibagi menurut suku bangsa, dan agama[4], sebagai berikut:

  1. Komposisi Penduduk menurut Suku Bangsa

Struktur dan komposisi penduduk menurut kelompok suku bangsa secara rinci disajikan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut nampak bahwa Suku Jawa yang berasal dari Pulau Jawa merupakan kelompok suku bangsa yang terbesar dengan populasi sebanyak 95,2 juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia. Suku Jawa ini merupakan gabungan dari Suku Jawa, Osing, Tengger, Samin, Bawean/Boyan, Naga, Nagaring dan suku-suku lainnya di Pulau Jawa. Suku bangsa terbesar berikutnya secara berturut-turut adalah Suku Sunda dengan jumlah sebanyak 36,7 juta jiwa (15,5 persen), Suku Batak sebanyak 8,5 juta (3,6 persen) dan Suku asal Sulawesi lainnya sebanyak 7,6 juta jiwa (3,2 persen). Suku Batak mecakup Suku Batak Angkola, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak Dairi, Batak Simalungun, Batak Tapanuli, Batak Toba dan Dairi. Sedangkan kelompok suku bangsa asal Sulawesi lainnya merupakan gabungan dari sebanyak 208 jenis suku bangsa asal Sulawesi tidak termasuk Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo.

Komposisi penduduk menurut kelompok suku bangsa seperti yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan beberapa fenomena yang menarik. Suku-suku asal Papua yang jumlahnya mencapai lebih dari 466 suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, populasinya secara keseluruhan hanya berjumlah sebanyak 2,7 juta jiwa (1,14 persen). Dengan jumlah tersebut, suku-suku asal Papua hanya peringkat ke 19 dari 31 kelompok suku bangsa secara keseluruhan. Kondisi serupa juga terlihat pada Suku Dayak yang berasal dari Pulau Kalimantan. Dari Tabel 2 ditunjukkan bahwa Suku Dayak yang mencakup sekitar 268 jenis suku bangsa populasinya pada tahun 2010 hanya sebanyak 3 juta jiwa (1,3 persen) dan berada di peringkat 17 dari 31 kelompok suku bangsa Sementara itu, Suku Madura yang pada awalnya berasal dari Pulau Madura, pulau kecil di sebelah timur Pulau Jawa, selama beberapa dua dekade terakhir ini menyebar cepat di berbagai wilayah di Indonesia. Selama tahun 2010, populasi Suku Madura mencapai sebanyak 7,18 juta jiwa atau sekitar 3,03 persen dari populasi penduduk Indonesia dan menempati peringkat ke 5 dari 31 kelompok suku bangsa.

Tabel 1

http://2.bp.blogspot.com/-SeGZqasddkY/VWFvBkYWLUI/AAAAAAAAABw/CohLJ3cmdzc/s1600/Picture1.png

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa kelompok suku bangsa di Indonesia yang populasinya paling sedikit berturut-turut adalah Suku Nias dengan jumlah sebanyak 1,04 juta jiwa (0,44 persen), Suku Minahasa sebanyak 1,24 juta jiwa (0,52 persen) dan Suku Gorontalo sebanyak 1,25 juta jiwa (0,53 persen). Suku Minahasa merupakan gabungan dari Suku Bantik, Minahasa, Pasan/Ratahan, Ponosakan, Tombulu, Tonsawang, Tonsea/ Tosawang, Tonteboan, Totembuan dan Toulor.

  • Komposisi Penduduk menurut Agama

Kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya terlihat dari beragamnya jenis suku bangsa, namun juga dari beragamnya agama yang dianut penduduk. Suasana kehidupan beragama yang harmonis di lingkungan masyarakat heterogen dengan berbagai latar belakang agama terbangun karena toleransi masyarakat yang saling menghargai adanya perbedaan. Berbagai kegiatan sosial budaya dalam suatu masyarakat seperti kegiatan gotong royong dilakukan bersama-sama oleh semua anggota masyarakat tanpa melihat golongan, suku bangsa dan agama. Di lain pihak, suasana hamonis tersebut juga didukung oleh komitmen pemerintah yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Komitmen pemerintah tersebut secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Tabel 2

http://www.tionghoa.info/wp-content/uploads/2016/08/jumlah-etnis-tionghoa-02.jpg

Seperti yang disajikan pada Tabel 2, agama yang paling banyak dianut oleh penduduk berturutturut adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khong Hu Cu dan lainnya. Pemeluk agama Islam pada tahun 2010 tercatat sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen), kemudian pemeluk agama Kristen sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96 persen) dan pemeluk agama Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,91 persen). Dari Tabel 2 juga nampak bahwa pemeluk agama Hindu adalah sebanyak 4.012.116 jiwa (1,69 persen) dan pemeluk agama Budha sebanyak 1.703.254 jiwa (0,72 persen). Sementara itu, agama Khong hu cu sebagai agama termuda yang diakui oleh pemerintah Indonesia dianut sekitar 117,1 ribu jiwa (0,05 persen).

Etnosentrisme, Primordialisme, dan Rasisme

Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaab suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat, dan kedaerahan sering disebut sevagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula sekali diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda[5]. Membahas mengenai keadaan masyarakat yang majemuk tidak pernah terlepas dari masalah-masalah yang sering terjadi, seperti etnosentrisme, primordialisme, dan rasisme, yang akan dibahas dibawah ini.

Etnosentrisme, merupakan kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik, mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk membedakannya dengan budaya lain[6]. Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain. Apabila tidak dikelola dengan baik, perbedaan budaya dan adat istiadat antarkelompok masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik sosial akibat adanya sikap etnosentrisme. Sikap ini bisa dibilang merupakan bagian dari masalah-masalah sosial yang sebaiknya kita hindari karena dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Etnosentrisme terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain[7].

Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya[8]. Secara etimologi, primordial atau primordialisme berasal dari kata bahasa Latin, orimus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Menurut KBBI, primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan buday kelompoknya. Namun disisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subjektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya[9].

Rasisme memiliki dimensi yang luas dan tidak sekadar sesuatu yang berhubungan dengan aspek SARA. Rasisme sendiri secara umum adalah pendirian yang memperlakukan orang lain secara berbeda dengan memberikan judgment nilai berdasarkan karakteristik ras, sosial, dan kondisi mental tertentu yang merujuk pada self (diri sendiri)[10]. Dari pengertian tersebut diatas, kita dapat mengetahui bahwa primordialisme dan rasisme saling mempengaruhi satu sama lain. Karena rasa kesukuan yang tinggi seseorang atau suatu kelompok dapat memperlakukan orang atau kelompok lain sesuka dirinya dan menganggap orang atau  kelompok lain lebih rendah dari dirinya atau kelompoknya. Hal merendahkan tersebut akhirnya berujung pada sikap rasis atau rasisme, yaitu mengotak-ngotakkan struktur masyarakat berdasarkan suku, ras, agama, dan perbedaan lainnya[11].

Multikulturalime dalam Tantangan Radikalisme

Radikalisme atau fundamentalisme tidak muncul dari ruang hampa. Mengikuti paham kaum fakta sosial, bahwa radikalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab[12], antara lain: Pertama, tekanan politik penguasa, dimana radikalisme atau fundamentalisme muncul disebabkan oleh tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa negara termasuk Indonesia, fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoriterisme. Di era reformasi yang mengedepankan demokratisasi dan hak asasi manusia muncul gerakan Islam berkonotasi radikal akhir-akhir ini seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia, Gerakan Salafi, Lasykar Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah, dan berbagai gerakan keagamaan bercorak lokal adalah sebuah potret tentang merbaknya gerakan-gerakan keagamaan di tengah euphoria keterbukaan, demokratisasi, dan hak asasi manusia.

Kedua, kegagalan rezim sekular dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikannya di dalam kehidupan masyarakat. Contohnya Kapitalisme, yang justru bukan membawa angin perubahan bagi pembangunan, justru semakin membuat ketimpangan dalam kehidupan rakyat, yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin memicu gerakan-gerakan radikal menuntut penyelesaian yang adil atas masalah tersebut. Ketiga, respon terhadap Barat, dimana kebanyakan isu yang diangkat ke permukaan oleh kelompok ini adalah responnya terhadap apapun yang datangnya dari dunia barat seperti demokrasi dan HAM adalah rekayasa Barat untuk meminimalisasikan peran dan pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat. Semua ide tentang persoalan tersebut dikemas dengan konsep modernisasi dan sekularisasi. Keempat, rasionalisasi yang menghasilkan modernisme dan kapitalisme. Sebagai anak kandung rasionalisasi, modernisasi akan dapat menggerogoti pilar-pilar agama yang disebabkan oleh cara berfikir yang bertolak belakang.

Kelima, secara politis umat Islam di dunia internasional berada dalam kawasan pinggiran. Umat Islam sering diadu domba dengan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan oleh negara-negara adidaya terutama Amerika Serikat dan Inggris beserta sekutu-sekutunya. Dalam permainan global yang diperagakan oleh negara-negara Barat ditegaskan bahwa negara-negara Islam tidak boleh menjadi satu kesatuan. Keenam, adalah serangan kultural terhadap masyarakat Islam. Di era dunia tanpa batas atau yang lebih dikenal sekarang dengan globalisasi, melalui penetrasi budaya yang terjadi secara deras, maka dapat dipastikan bahwa budaya Timur, khususnya Islam menjadi terpinggirkan. Melalui keunggulan teknologi yang dimilikinya, maka Barat dapat melakukan apa saja kepada dunia Timur. Dan Ketujuh, kegagalan negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam dalam menyejahterakan masyarakat juga menjadi variabel penting munculnya gerakan fundamentalisme Islam

Konflik dan Perubahan Sosial : Ragam Konflik yang pernah terjadi di Konawe, Sulawesi Tenggara

Anggota etnis minoritas yang menderita kerugian dalam suatu konflik sering mengklaim bahwa mereka menjadi korban penganiayaan yang tidak adil. Konflik merupakan proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling bergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik[13]. Pada dasarnya konflik yang terjadi dimana heterogenitas tidak dipahami sebagai komunitas bersama, namun kadang dipersepsikan sebagai sebuah arena persaingan dan perebutan aset daerah. Potensi tersebut meliputi konflik-konflik dengan kepentingan (faktor politis), konflik yang terkait dengan kecemburuan sosial (faktor sosial dan ekonomi), konflik yang terkait dengan sejarah masa lalu (faktor historis) dan konflik pertanahan (faktor agraris).

Di Konawe etnis besar yang secara umum mempunyai tata nilai dan latar belakang budaya yang berbeda antara satu dengan yang lain yang berpengaruh pada pola kehidupan sosialnya. Perbedaan pola kehidupan sosial berdampak pada kecenderungan pilihan-pilihan sektor kehidupan dan juga pola relasi antar etnis. Kecenderungan terhadap pilihan secara sektoral ini ternyata tidak berujung pada pembagian pekerjaan secara adil namun malah menonjolkan eksklusivitas etnis dan sifat ekspansionis beberapa etnis untuk menguasai sektor yang lain. Akibat eksklusivitas dan sifat ekspansionis dalam mengembangkan usaha, beberapa etnis ini akhirnya menimbun permasalahan bagi etnis lain, karena[14]:

  1. Penguasaan aset ekonomi yang tidak seimbang diantara etnis yang ada. Dominasi salah satu etnis pendatang terhadap etnis lokal maupun etnis pendatang yang lain dalam sektor ekonomi sangat kuat karena latar belakang nilai budaya etnis tersebut mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap cara pemanfaatan aset ekonomi;
  2. Konflik yang berkepanjangan antara salah satu etnis pendatang dengan etnis lokal karena latar belakang historis;
  3. Konflik antar suku yang berasal dari etnislokal yang berlatarbelakang perebutan penguasaan aset ekonomi;
  4. Penguasaan (sertifikasi) tanah ulayat oleh para elit pimpinan (formal dan non formal)
  5. Rendahnya SDM penduduk dan tingginya gengsi etnis lokal yang mempunyai populasi paling besar yang pada gilirannya berpengaruh pada etos kerja dan rendahnya kualitas hidup;
  6. Ketidakseimbangan dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang disebabkan oleh keunggulan komparatif dari beberapa etnis (dalam hal ini etnis pendatang), baik dalam hal pengetahuan maupun keterampilan dalam beberapa sektor, utamanya sektor pertanian dan perdagangan. Keunggulan komparatif dari etnis pendatang ternyata berdampak pada kualitas hidup yang cukup tinggi dibandingkan dengan etnis asli. Inilah yang mneyebabkan persaingan yang tidak seimbang dalam penguasaan aset baik SDA maupun SDM yang pada gilirannya menimbulkan kecemburuan-kecemburuan yang terpolarisasi menjadi sentimen etnis.

Berdasarkan assesment dan hasil diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat di Kabupaten Konawe telah teridentifikasi beberapa sumber konflik yang pernah terjadi[15], misalnya:

  1. Konflik dengan latar belakang penyerobotan lahan, dimana konflik ini muncul terkait dengan penguasaan aset yang melibatkan masyarakat asli dengan masyarakat pendatang di Desa Olo-oloho.
  2. Konflik politik dengan latar belakang pemekaran wilayah. Konflik yang lebih besar adalah terkait dengan pemekaran wilayah Kabupaten Konawe menjadi dua Kabupaten, yakni Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan pada tahun 2004. Tema konflik adalah perebutan 2 desa potensial yang ada di perbatasan kabupaten yang dimekarkan, yakni Desa Mukaleleo dan Desa Unggulino. Masing-masing Kabupaten baru mengklaim bahwa kedua desa tersebut masuk ke dalam wilayahnya masing-masing. Konflik diawali dari keinginan dari sebagian warga di kedua desa tersebut untuk bergabung dengan salah satu Kabupaten yang dimekarkan. Sebagian warga ingin desanya masuk ke Kabupaten Konawe dan sebagian yang lain ada yang ingin masuk ke wilayah Kabupaten Konawe Selatan. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak ketiga demi kepentingan politiknya. Pada pertengahan April hingga Juni 2004 terjadi adu kekuatan, masyarakat desa terpecah menjadi dua kubu, yakni kubu yang pro masuk ke kabupaten baru (Konawe Selatan) dan kubu kontra. Kejadian selanjutnya adalah munculnya aksi teror di mana-mana yang dilakukan oleh warga desa baik yang pro maupun yang kontra. Dari aksi teror ini kemudian muncul kejadian yang lebih genting yakni amuk massa yang berupa perusakan sarana publik, balai desa, pembakaran rumah penduduk hingga pemblokiran jalan yang berlangsung selama beberapa hari di bulan Juli 2004.

Membangun Perdamaian di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara

Walaupun Kabupaten Konawe merupakan daerah terbuka, namun keberadaan suku asli masih merupakan mayoritas jumlah penduduk (sekitar 70%). Suku Tolaki yang merupakan suku asli mendiami wilayah Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka dalam lingkungan Provinsi Sulawesi Tenggara. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Secara umum sistem sosial yang ada di Kabupaten Konawe mengalami perubahan yang cukup besar. Perubahan itu dipengaruhi dengan masuknya pendatang baik melalui program transmigrasi maupun atas dasar inisiatif sendiri, mengingat Kabupaten Konawe merupakan wilayah terbuka yang mempunyai sumber daya alam yang sangat potensial. Potensi sumber daya alam di Konawe masih sangat luas untuk dapat dijadikan sumber penghidupan. Potensi inilah yang merupakan magnet bagi kaum pendatang, meskipun dengan laju pertambahan yang tidak begitu menonjol. Biasanya mereka ingin mencoba mencari jalan hidup di daerah ini melalui sektor pertanian, perdagangan, maupun perkebunan. Suku lain yang berasal dari luar daerah juga berkembang membentuk komunitas-komunitas tersendiri dengan beragam latar belakang norma, tata-nilai dan budaya masing-masing. Misalnya di kantong-kantong komunitas masyarakat Bali, nilai, norma, dan budaya yang berlaku adalah nilai, norma dan budaya dari nenek moyang masyarakat Bali. Demikian juga susuku-suku lain, masing-masing tidak bisa meninggalkan nilai, norma dan budaya yang dibawa dari daerah asalnya[16].

Pelaksanaan proyek Conflict Prevention and Peace Building Fund (CPPF) di Kupang, Polman dan Konawe dimulai sejak tahun 2004 hingga tahun 2010. Dalam rangka untuk mengurangi potensi terjadinya konflik di wilayah program, langkah strategis yang telah dilakukan adalah membangun relasi etnis melalui aktvitas ekonomi. Hal ini dikarenakan kesenjangan ekonomi merupakan faktor dominan penyebab konflik yang berdampak pada eksklusifitas etnis. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di Konawe[17], antara lain: Pengembangan Wacana Pluralisme dan Pembangunan Perdamaian, melalui pembentukan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dan Forum Pancasila, dialog budaya dan dialog antar budaya, kegiatan sosialisasi dan penjajagan kepada pewarta Agama, Dialog interaktif di radio, kampanye pembangunan perdamaian dan demokrasi melalui berbagai media (cetak maupun elektronik), penyuluhan pembangunan perdamaian dan demokrasi, mengadakan lomba keagamaan, mengadakan aksi bersama berbagai kelompok masyarakat, mengadakan kerja bakti membangun tempat ibadah, membangun tugu perdamaian, pentas seni dan olahraga, serta kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan pengembangan ekonomi dan program monitoring dan evaluasi bersama masyarakat.

Penutup

Masyarakat multikultural yang pergaulan antar etnisnya memiliki bentuk hubungan stratifikasi pada hakikatnya belum melebur dalam pola pergaulan yang diharapkan sebagai prasyarat masyarakat multikultural. Model masyarakat itu masih bercirikan bentuk hubungan banyak etnik (masyarakat majemuk), karena dimungkinkan adanya berbagai macam kepentingan yang bersumber pada ketimpangan dalam distribusi kekuasaan dan sumber-seumber ekonomi (mode of production). Masyarakat multikultural yang dibangun dari keragaman etnik memang menjadi beban dari masyarakat itu sendiri untuk menyelesaikan segala masalah yang harus dibangun dengan sebuah perjuangan untuk hidup bersama (living together).

Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang diciptakan oleh Founding Fathers nya Indonesia merupakan suatu konsep yang berlandaskan kearifan budaya Indonesia. Tidak hanya sebagai konsep untuk mempersatukan segala ragam perbedaan bangsa Indonesia namun juga dapat menjadi sebagai landasan berfikir bijak sebelum memulai suatu konflik. Perlunya optimalisasi nilai-nilai pancasila yang menyeluruh pada masyarakan Indonesia, agar selalu tertanam wawasan kebangsaan. Sejauh ini yang penulis amati, kurangnya peran pemerintah dalam penanaman nilai-nilai pancasila dan wawasan nusantara, terutama di daera-daerah yang terpencil, sehingga mereka hanya mengenal lingkungan mereka sendiri dan hanya belajar dari lingkungan mereka sendiri. Pendidikan multikulturalisme harus lebih masif lagi diimplementasikan di sekolah-sekolah Indonesia, tidak mengulangi kesalahan kelam di masa lalu. Pembinaan dan pemantauan juga perlu dilakukan oleh Pemerintah.

Daftar Pustaka

Ashadi, Andri. 2015. Multikulturalisme : Berebut Identitas di Ruang Publik. Padang: Imam Bonjol Press

Badan Pusat Statistik, https://www.bps.go.id/

Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung : Penerbit Nusa Media

Mulyono, Paryanto Edi, Agung Widodo, dan Iwan Setiyoko. 2011. Menyemai Perdamaian di Bumi Konawe. Solo : Yayasan Insan Sembada

Risakotta, Bernard Adeney. 2014. “Dealing with Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender, and Disaster in Indonesia”. Geneve dan Yogyakarta: Globeethics

Rustanto, Bambang. 2015. Masyarakat Multikultur Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina. Semarang : Penerbit Tiara Wacana

Suratman, Munir, dan Umi Salamah. 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Malang : Intimedia Publishing

Syam, Nur. 2009. Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta : Kanisius


  • [1] Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina. Semarang : Penerbit Tiara Wacana
  • [2] Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina. Semarang : Penerbit Tiara Wacana
  • [3] Suratman, Munir, dan Umi Salamah. 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Malang : Intimedia Publishing
  • [4] Badan Pusat Statistik, diakses melalui https://www.bps.go.id/, 17 Februari 2017
  • [5] Rustanto, Bambang. 2015. Masyarakat Multikultur Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
  • [6] Ibid., hal. 45
  • [7] Rustanto, Bambang. 2015. Masyarakat Multikultur Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
  • [8] Ibid., hal. 49
  • [9] Ibid., hal. 50
  • [10] Ibid., hal. 54
  • [11] Rustanto, Bambang. 2015. Masyarakat Multikultur Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
  • [12] Syam, Nur. 2009. Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta : Kanisius
  • [13] Rustanto, Bambang. 2015. Masyarakat Multikultur di Indonesia. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hal. 68
  • [14] Mulyono, Paryanto Edi, Agung Widodo, dan Iwan Setiyoko. 2011. Menyemai Perdamaian di Bumi Konawe. Solo : Yayasan Insan Sembada
  • [15] Mulyono, Paryanto Edi, Agung Widodo, dan Iwan Setiyoko. 2011. Menyemai Perdamaian di Bumi Konawe. Solo : Yayasan Insan Sembada
  • [16] Ibid ., Hal. 49
  • [17] Ibid ., Hal. 79-91