Realitas Multikulturalisme Dalam Konteks Bhinneka Tunggal Ika
Ardiyan Rofiq Mulyana dan Ardy Syihabuddin
Pendahuluan
Kultur atau budaya adalah hal yang melekat pada kehidupan manusia. Sejatinya tidak ada manusia yang bisa memilih untuk dilahirkan dalam suku seperti apa, keluarga, agama dan adat istiadat tertentu. Faktanya adalah setiap manusia yang terlahir di dunia semenjak bayi sudah melekat identitas yang juga tidak tunggal. Artinya kebudayaan adalah sesuatu yang given atau yang telah terberi sebagai sesuatu yang melekat dalam diri seserang. Meskipun demikin, kultur juga tidak ditempatkan dalam ruang lingkup yang sifatnya statis dan tidak berkembang.
Kebudayaan masyarakat selalu berkembang seiring dengan pergerakan zaman. Ki Hadjar Dewantara (2011: 27) menyatakan kelak apabila kita sudah cakap pula mewujudkan kebudayaan baru, barang tentulah kebudayaan itu akan berbeda sifatnya dengan kebudayaan lama : akan tetapi meskipun beda sifatnya, tidaklah kebudayaan baru itu akan dapat meningalkan garis-garis kebudayaanya (garis kultur); garis dalam dan garis baru ana terus berhubungan (kotinyu); zaman lama dan zaman baru akan berlaku konvergen.
Hal inilah yang mendorong Ki Hadjar Dewantara sebagai mentri pendidikan pertama Indonesia sekaligus peletak dasar pendidikan di Indonesia menempatkan kebudayaan bersandingan dengan pendidikan. Dikarenakan sejatinya pendidikan adalah perjuangan kebudayaan, bukan untuk mempertahankan kebudayaan secara kaku, melainkan terbuka dengan kebudayaan-kebudayaan lain namun tidak tercerabut dari akarnya.
Namun terkadang perbedaan budaya tersenut justru menjadi pemantik konflik sosial. Meskipun tidak selalu menjadi faktor yang determinan, namun perbedaan tersebut dapat memperuncing bahkan memperkeruh konflik yang ada. Hal ini tentu menjadi satu kajian yang mendapat perhatian lebih, terkhusus soal penyikapan masyarakat dalam melihat perbedaan kultur. Perbedaan tidak hanya dilihat sempit sebagai hal yang janggal diluar kelompok melainkan subuah fakta objektif dalam kehidupa bermasyarakat yang layak untuk dihormati.
Di Indonesia, sesuai dengan data Badan Pusat Statistis penelitian terakhir tentang kultur menyebutkan bahwa terdapat 245 aliran kepercayaan di Indonesia, serta 1.340 suku bangsa, belum lagi soal kebudayaan dan adat istiadat yang juga berbeda-beda. Hal ini menjadi satu indikator bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang multikultural. Fakta ini yang juga melandasi dasar negara Indonesia yaitu Pancasila serta konstitusi Undang- undang Dasar 1945.
Realitas Multikuturalisme di Indonesia
- Pemaknaan Kebudayaan (Kultur)
Kebudayaan adalah hasil dari budaya, padanan dari kata kata “culture”, yang kini sudah diterima dalam kosakata Indonesia, “kultur” dengan arti yang sama. Encyclopaedia International mengatakan bahwa istilah “kebudayaan/budaya/kultur” punya dua perlakuan pokok; Pertama, ia dapat mengacu pada hasil dari keintelektualan tinggi, seperti sastra, seni, filosofi, kearifan, ilmu pengetahuan. Karena itu ia sering dipakai untuk mendefenisikan orang-orang yang berpendidikan mencerahkan “a well cultured man/woman”.
Kedua, ia dipakai oleh para ilmuan dari berbagai disiplin ilmiah untuk untuk mendeskripsikan karakteristik distigtif dan sejarah dan eksistensi human, yaitu: penciptaan ide, kebiasaan, adat istiadat dan benda-benda material, yang cenderung terus menumpuk dan karena itu memberikan adaptasi yang semakin kompleks dan canggih pada lingkungan alami. Dalam perlakuan yang pertama tadi, keberadaan atau kepemilikan budaya/kebudayaan/kultur membuat perbedaan antara beradab (civilzed) dan tak beradab (uncivilzed) dan tak terdidik (uneducated). Dalam perlakuan yang kedua, istilah ini membedakan mahkluk manusia dengan makhluk-makhluk lainya.
E.B. Tylor (1992) menerangkan bahwa budaya adalah suatu kesatuan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, keenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangka menurut R.Linton (1995) kebudayaan dapat dapat dipandang sebagai sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam tulisanya “Kuktur dan Kebudayaan” (1936) “kultur” atau “kebudayaan” yaitu buah dari keadaban manusia. Oleh sebab itu “adab” itu sifatnya keluhuran budi, maka buah-buah dari keluhuran budi itu lalu dinamakan budaya. Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara menegaskan “ kultur itu artinya sama dengan pengertian usaha perbaikan hidupnya tanaman, dan dalam ilmu-adab terpakai dalam arti usaha perbaikan hidupnya manusia.”
Sedangkan menurut Koentjaningrat (1980) kata “kebudayaan” berasal dari kata sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudyaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “ daya dari budi” yang berupa cipta, rasa, dan karsa dengan ebudayaan yang berartii hasil cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu sama saja Menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan.
Tiga konsep pemaknaan.
- Kebudayaan sebagai konsep evolusioner
- Kebudayaan sebagai konsep diskriptif
- Kebudayaan sebagai gaya hidup/kehidupan atau perilaku human.
Dalam bukunya Rethinking Multikulturalism, Bhikhu Parekh (2008:206) mengatakan bahwa kebudayaan masyarakat terikat erat dengan institusi-institusi ekonomi, politik dan lainya. Tidak ada masyarakat yang mengembangkan dulu da kemudian institusinya, atau sebaliknya. Kebudayaan dan institusi sama-sama viral untuk kelangsungan hidupnya, muncul dan berkembang bersama, dan dipengaruhi satu sma lain. Mark salah kaena berpikir bahwa produksi material terjadi dalam ruang hampa budaya, bahwa produks material secara logis dan temporer lebih dulu dari kebudayaan, dan bahwa kebudayaan tidak memiliki cukup kekuasaan untuk melakukan pengaruh independen padanya.
Harder melihat ini secara lebih jelas dari Marx, namun ia membuat kesalahan yang berlawanan dengan mengabaikan kekuasaan yang besar dari sistem ekonomi. Montesquieu menekankan pengaruh iklim dan geografi, Hegel menekankan gagasan, dan Weber mengenai agama, tetapi masing-masing berjalan salah karena mengabaikan pengaruh dari faktor-faktor lain. Semuanya sama, membuat kesalahan lebih lanjut dengan mengabaikan antara masyarakat dan periode sejarah, dan memikirkan bahwa faktor yang sama memberi pengaruh yang kurang lebih sama pada semuanya.
Selain itu Parekh juga menambahkan bahwa kebudayaan merupakan sumber legitimasi kekuasaan, semua perjuangan politik dan ekonomi dilakukan pada tataran budaya juga, dan semua perjuangan udaya memiliki dimensi ekonomi dan politik yang mutlak.Teknologi adalah sumber perubahan budaya yang besar seperti yang diungkapkan Marx dengan ketajaman yang serupa. Setiap perubahan besar teknologi mempengaruhi proses dan hubungan produksi, sehingga mempengaruhi organisasi ekonomi, politik dan budaya dari masyarakat.
- Teori Multikultural
Secara etimologis, multikultural berasal dari kata multi yang berarti beragam atau banyak dan kultur yang berarti budaya. Jadi multikultural dapat didefinisikan keragaman budaya. Keragaman budaya mengindikasikan bahwa ada berbagai macam budaya yang memiliki ciri khas masing-masing. Sedangkan paham mengenai multikultural itu sendiri sidebut multikulturalisme. Pandangan ini yang diterjemahkan dalam pandangan dunia dan sering dijadikan pedoman atas kebijakan terkait kebudayaan yang menekankan pada realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat pada masyarakat.
Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of Reccognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Penegertian para ahli tentang kebudayaan harus di persamamakan atau, setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh oleh lainnya. Kaarena multikulturalisme itu adalah sebuah idiologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajad manusia dan kemanusiaanya, maka kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Sejarah etimologi multikulturalisme belum berumur lama. MenurutLonger Oxford Dictionary sebuah istilah yang baru banyak digunakan oleh kebanyakan orang pada tahun 1950-an di Kanada. Kamus tersebut mensitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Kanada sebagai masyarakat “multi-cultural dan ulti-lingual”. Istilah multikulturalsm sendiri pertama kali digunakan dalam laporan pemerintah kanada yang di publikasikan pada tahun 1965 bertajuk “Preminary Report Of The Royal Commision Of Bilingualism and Biculturalism”.
Sebagai sebuah terminology baru “multikulturalisme” masih belum banyak dipahami orang. Multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada di dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Di dalam masyarakat yang tergolong multikultural dapat dilihat adanya berbagai macam kelompok yang memiliki suku, agama, ras dll. Dalam batas-bata tertentu terdapat hal-hal yang memng tidak dapat disatukan. Konsepsi multikulturalisme dalam satu cakupan kekuasaan lekat kaitanya dengan persatuan dan mengintegrasikanya dalam satu kebudayaan yang sifatnya general. Pada kehidupan bernegara sering disimbolisasikan dengan kebudayaan nasional. Beberapa pandangan terkait masyarakat multikultural ;
- E.B. Tylor
suatu gagasan untuk mengatur keberagaman dengan prinsip-prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition). Gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran masyarakat adat dan lain-lain.
- Furnivall
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain di dalam suatu kekuasaan politik
- Clifford Gertz
Masyarakat Multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing subsistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial.
- Lawrece Blum
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum).
- Cambridge Advanced Learner’s Dictionary
Multikulturalisme (Multicultural) adalah including people who have many different customs and beliefs.
- Nasikun
Masyarakat multikultur adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktur memiliki sub-subkebudayaan yang bersifat diverse yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakatinoleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kestuan sosial, serta seringmunculnya konflik-konflik sosial.
- Parsudi Suparlan
Mengungkapkan bahwa Multikulturalisme adalah adanya politik universalisme yang menekankan harga diri kulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan semua manusia, serta hak akan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun dan kewajiban yang sama secara kebudayaan.
- Azyumardi Azra
“Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.
Untuk menjaga dan melestarikan budaya Indonesia, kita harus tahu bagaimana jenis-jenis multikulturalisme di Indonesia. Jenis-jenis dari Multikulturalisme di Indonesia menurut Parekh (1997:183-185) ada lima, yaitu “
- Multikulturalisme isolasionis
Mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain
- Multikulturalisme akomodatif
Yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
- Multikulturalisme otonomis
Masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan. Mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
- Multikulturalisme kritikal atau interaktif
Yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
- Multikulturalisme kosmopolitan
Berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Masyarakat multikultural tentunya tidak terjadi begitu saja, melainkan terdapat latar belakang yang menyebabkan terbentuknya masyarakat tersebut. Berikut faktor- faktor Penyebab Multikulturalisme menurut Bambang Rustanto (2015:42) :
- Latar Belakang Historis
Dalam pelajaran sejarah kita telah menetahui bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sekarang ini berasal dari Yunan, yaitu suatu wilayah di Cina bagian selatan yang pindah di pulau-pulau di Nusantara. Perpindahan ini terjadi secara bertahap dalam waktu dan jalur barat melalui selat malaka menuju pulau sumatera dan Jawa. Sedangkan kelompok lainya mengambil jalan kearah timur, yaitu melalui kepulauan Formosa atau Taiwan, di sebelah selatan Jepang, menuju Filipina dan kemudian meneruskan perjalanan ke Kalimantan. Dari Kalimantan ada yang pindah ke Jawa dan sebagian ke pulau Sulawesi.
Perbedaan jalur perjalanan, proses adaptasi di beberapa tempat persinggahan yang berbeda, dan perbedaan pengalaman serta pengetahuan itulah yang menyebabkan timbulnya perbedaan suku bangsa dan budaya yang beraneka ragam di Indonesia.
- Kondisi Geografis
Merupakan suatu kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang terdiri atas pulau-pulau yang sat sama lain dihubungkan oleh laut dangkal yang sangat potensial. Selain itu bentuk pulau-pulau itu memperlihatkan relief yang beraneka ragam. Perbedaan-perbedaan lainya menyangkut curah hujan, suhu dan kelembapan udara, jenis tanah, flora dan fauna yang berkembang diatasnya.
Perbedaan- perbedaan geografis ini telah melahirkan berbagai suku bangsa, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut, misalnya nelayan, pertanian, kehutanan, perdagangan, dan lain-lain.
- Keterbukaan terhadap Kebudayaan Luar
Bangsa Indonesai adalah contoh bangsa yang terbuka. Hal yang dapat dilihat dari besarnya pengaruh asing dalam membentuk keanekaragaman masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pengaruh asing pertama yang mewarnai sejarah kebudayaan Indonesia adalah ketika orang-orang India, Cina, Arab mendatangi wilayah Indonesia, disusul oleh kedatangan Eropa. Bangsa-bangsa tersebut datang membawa kebudayaan yang beragam.
Daerah-daerah yang relatif terbuka, khususnya daerah pesisir, paling cepat mengalami perubahan. Dengan semakin baiknya sarana dan prasarana trasportasi, hubungan antarkelompok masyarakat semakin intensif dan semkin sering pula mereka melakukan pembauran. Sedangkan daerah yang terletak jauh dari pantai umumnya hanya terengaruh sedikit, sehingga berkembang corak budaya yang khas pula.
Selain beberapa hal diatas, perkembangan masyarakat multikultural tidak hanya berkaitan dengan perbedaan etnisitas, namun juga dapat dilihat dari beberapa identitas sosialnya, seperti ; kelompok sosial berdasarkan ras, kelompok sosial berdasarkan bahasa, kelompok sosial berdasarkan suku bangsa dan kelompok sosial berdasarkan perbedaan agama.
- Data-Data Terkait Multikulturalisme Indonesia
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen. Bangsa kita mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat (tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju adat, nyanyian dan tarian daerah, alat musik, dan makanan khas.
Tentu, kawanmu ada yang berasal dari suku yang sama denganmu. Ada pula yang berbeda suku denganmu. Mengapa kita mempunyai suku bangsa yang beraneka ragam? Pada awalnya nenek moyang kita berasal dari kelompok suku yang berbeda. Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok Austro-Melanesoid. Persebarannya dari Australia – Irian – Kai – Seram – Sulawesi – Timor – Sumatra Utara – Aceh – Kedah – Pahang – Malaysia. Kelompok yang lain adalah kelompok Mongoloid. Persebarannya melalui dua rute. Rute pertama, Jepang – Taiwan – Filipina – Sangir – Sulawesi. Rute kedua, Asia Tenggara – Sulawesi Utara – Halmahera – Maluku Selatan.
Sejarah dan Konsepsi Bhinneka Tunggal Ika
- Asal-usul dan Makna Bhinneka Tunggal Ika
Para pendiri negara (founding fathers) yang memahami betul konstelasi masyarakat Indonesia yang plural dan sekaligus juga heterogen telah menjadikan ujar-ujar Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bagi Negara Republik Indonesia (Kusumohamidjojo, 2000:1, 45), bahkan setelah proses perubahan UUD 1945, ujar-ujar Bhinneka Tunggal Ika itu semakin dikukuhkan sebagai semboyan bangsa sebagaimana dirumuskan dalam pasal 36A UUD 1945 yang berbunyi Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini memuat idealitas multikulturalisme di Indonesia (Hardiman, 2005:514).
Sebagai suatu historical being, Bhinneka Tunggal Ika yang secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu atau although in pieces yet one, melewati rentang yang panjang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, mulai pada zaman negara kerajaan Nusantara. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak zaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gadjah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Empu Tantular:
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Pupuh 139: 5).
(Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa) (Tantular, 2009:504-505)
Kitab Sutasoma mengajarkan toleransi kehidupan beragama, yang menempatkan agama Hindu dan agama Buddha hidup bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama itu hidup beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk. Meskipun agama Hindu dan Buddha merupakan dua substansi yang berbeda, namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Hindu dan Buddha bermuara pada hal “Satu”. Hindu dan Buddha memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran.
Tentang hal ini amatlah menarik menyimak apa yang dikemukakan oleh Supardan (2008:135) yang mengutip uraian Darmodihardjo (1985), yang menyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika secara hakiki mengungkapkan kebenaran historis yang tidak dapat disangkal lagi sejak zaman kerajaan dahulu. Kerajaan Majapahit memiliki politik hubungan antarkerajaan yang terungkap dalam semboyan “mitreka satata” yang berarti “persahabatan dengan dasar saling menghormati” dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara lainnya seperti Champa, Syam, Burma. Pujangga Empu Tantular melukiskan kehidupan beragama dengan baik dengan kalimat “bhinneka tunggal ika tan hana darma mangrua” yang berarti “walaupun berbeda, satu adanya, tidak ada agama yang tujuannya berbeda”. Empu Tantular sudah mendudukan ujar-ujar tersebut sebagai falsafah Kerajaan Majapahit pada zamannya (abad ke-14).
Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang semulamenunjukkan semangat toleransi keagamaan, kemudiandiangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia. Sebagai semboyan bangsa konteks permasalahannya bukan hanya menyangkut toleransi beragama tetapi jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan istilah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Semboyan itu dilukiskan di bawah lambang
negara Indonesia yang dikenal dengan nama Garuda Pancasila. Lambang negara Indonesia lengkap dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Kebhinnekaan atau yang berbeda-beda itu menunjuk pada realitas objektif masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan. Keanekaragaman di bidang politik diwarnai oleh adanya kepentingan yang berbeda-beda antara individu atau kelompok yang satu dengan individu atau kelompok yang lainnya. Di bidang ekonomi, keanekaragaman dapat dilihat dari adanya perbedaan kebutuhan hidup, yang akhirnya berimplikasi terhadap munculnya keanekaragaman pada pola produksi.
Di bidang sosial, keberagaman itu tercermin dari adanya perbedaan peran dan status sosial. Selain itu, keanekaragaman juga dapat dilihat dari segi geografis, budaya, agama, etnis, dan sebagainya. Keanekaragaman itu pun masih dikukuhkan lagi oleh kebhinnekaan perseorangan masing-masing anak negeri yang kini berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Dengan adanya keanekaragaman dalam berbagai bidang tersebut menyebabkan Indonesia dijuluki sebagai masyarakat yang multi etnik, multi agama (multi religi), multi budaya (multikultural), dan sebagainya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (Plural Society).
Jika dilihat dari struktur sosialnya, keanekaragaman atau kemajemukan masyarakat Indonesia berdimensi ganda, karena memiliki kemajemukan secara horizontal dan vertikal. Kemajemukan secara horizontal dalam sosiologi dikenal dengan istilah deferensiasi sosial. Diferensiasi sosial merupakan suatu sistem kelas sosial dengan sistem linear atau tanpa membeda-bedakan tinggi-rendahnya kelas sosial itu sendiri. Misalnya, perbedaan agama, ras, etnis, clan (klan), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin.
Kemajemukan secara vertikal melahirkan stratifikasi sosial. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya, seperti lapisan kaya dan miskin, penguasa dan jelata.
Makna kesatuan (tunggal ika) dalam Bhinneka Tunggal Ika merupakan cerminan rasionalitas yang lebih menekankan kesamaan daripada perbedaan. Kesatuan merupakan sebuah gambaran ideal. Dikatakan ideal karena kesatuan merupakan suatu harapan atau cita-cita untuk mengangkat atau menempatkan unsur perbedaan yang terkandung dalam keanekaragaman bangsa Indonesia ke dalam suatu wadah, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan adalah upaya untuk menciptakan wadah yang mampu menyatukan kepelbagaian atau keanekaragaman.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang mengakui realitas bangsa yang majemuk, namun tetap menjunjung tinggi kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara kebhinnekaan dan ketunggalikaan, antara keanekaan dan keekaan, antara kepelbagaian dan kesatuan, antara hal banyak dan hal satu, atau antara pluralisme dan monisme.
Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan keseimbangan antara unsur perbedaan yang menjadi ciri keanekaan dengan unsur kesamaan yang menjadi ciri kesatuan (Rizal Mustansyir, 1995: 52). Keseimbangan itu sendiri merupakan konsep filsafati yang selalu terletak pada ketegangan di antara dua titik ekstrim, yaitu keanekaan mutlak di satu pihak dan kesatuan mutlak di pihak lain.
Setiap kali segi keanekaan yang menonjolkan perbedaan itu memuncak akan membawa kemungkinan munculnya konflik, maka kesatuanlah yang akan meredakan atas dasar kesadaran nasional. Demikian pula sebaliknya, manakala segi kesatuan yang menonjolkan kesamaan itu tampil secara berlebihan, maka keanekaan selalu mengingatkan bahwa perbedaan adalah kodrat sekaligus berkah yang tak terelakkan.
Untuk menjaga keberlangsungan hidup berbangsa, kebhinnekaan sebaiknya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi kebhinnekaan harus dipandang sebagai aset yang diharapkan mampu berperan sebagai sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia. Kebhinnekaan sebagai kekayaan serta mendaya-gunakannya justeru dapat menjadi pondasi kokoh persatuan dari sebuah imagined community yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesadaran sebagai masyarakat yang berbhinneka tetapi mencita-citakan kesatuan yang dikukuhkan sebagai konsensus bersama dalam Soempah Pemuda 1928 telah menjadi modal sosial ampuh yang berhasil mempersatukan dan mengantar negara-bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit dari dulu sampai sekarang, bahkan juga nanti.
Masyarakat yang berbhinneka yang dicirikan oleh adanya perbedaan memang sangat rawan terhadap konflik. Indonesia sebagai masyarakat yang berbhinneka, secara internal telah mengandung sumbersumber ketegangan dan pertentangan. Menurut Eka Dharmaputera (1997: 40), baik keanekaragaman maupun kesatuan Indonesia adalah kenyataan sekaligus persoalan.
Kebhinnekaan Indonesia sepintas lalu memang jauh lebih menonjol daripada kesatuannya. Oleh karena itu, bahaya disintegrasi selalu merupakan ancaman baik riil maupun potensial. Jika bertumpu pada realitas bangsa yang berbhinneka, bahaya disintegrasi memang merupakan ancaman yang amat nyata. Namun karena Indonesia tidak hanya berbhinneka, tetapi juga tunggal ika, maka integrasi bukanlah sesuatu yang mustahil. Setiap pembahasan tentang Indonesia yang mengabaikan kedua atau salah satu dimensi tersebut, dapatl ahdipastikan tidak akan mencapai sasaran.
Selanjutnya Eka Darmaputera (1997: 8-9) juga mengatakan, agar masyarakat dapat berfungsi dengan baik, masyarakat harus mampu mengatasi disintegrasi potensial yang ada di dalam dirinya sendiri. Seluruh masyarakat dapat berfungsi hanya apabil anggota-anggotanya bersedia untuk mengintegrasikan diri, baik dalam bentuk integrasi normatif maupun integrasi nilai.
Integrasi normatif tercermin dari adanya kehidupan bersama di mana seluruh anggota masyarakat bersedia mematuhi dan mengikuti “aturan permainan” yang telah ditentukan. Sedangkan integrasi nilai tercermin dari adanya nilai-nilai fundamental yang dijadikan sebagai pandangan hidup bersama.
Perbedaan dalam kebhinekaan merupakan suatu realitas, karena itu perbedaan tidak perlu lagi untuk dibeda-bedakan. Membeda-bedakan perbedaan justeru akan dapat menimbulkan bahaya disintegrasi. Perbedaan dalam kebhinnekaan perlu disinergikan atau dikelola dengan cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk membangun kebersamaan. Karena kesatuan dicirikan oleh adanya kesamaan, maka untuk mewujudkan cita-cita kesatuan di tengah-tengah kebhinnekaan diperlukan adanya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk melihat kesamaan pada sesuatu yang berbeda itu.
Secara individu, setiap manusia adalah berbeda, baik dilihat dari segi fisiknya maupun mentalnya. Setiap manusia merupakan subjek yang otonom. Namun demikian, setiap manusia memiliki kesa maan, yaitu sama-sama manusia (sesama manusia). Demikian juga dalam konteks ke-Indonesiaan, terdapat beragam suku, agama, ras, dan golongan yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbedabeda, tetapi semuanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bangsa Indonesia (sesama bangsa Indonesia).
Konsep “sesama” tidak hanya terbatas pada manusia. Manusia dengan binatang juga memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mahluk hidup (sesama mahluk hidup). Demikian juga kesamaan bisa ditemukan dalam hubungannya dengan yang lain, sehingga muncul adanya berbagai konsep sesama, seperi sesama ciptaan Tuhan, atau sesama isi dunia, dan lain sebagainya. Inilah konsep “sesama” dalam arti luas (Pursika, 2009 : 28).
Persatuan dalam tulisan ini merujuk pada konsep integrasi nasional. Integrasi adalah suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait dengan ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih dengan usaha (Sunarto, 2004).
Integrasi nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang berbeda menjadi sebuah kesatuan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa (Herdiawanto & Hamdayama, 2010). Sebutan kesatuan bangsa atau kesatuan wilayah mempunyai dua makna yaitu (kompasiana, 2010):
1. Menunjukkan sikap kebersamaan dari bangsa itu sendiri.
2. Menyatakan wujud yang hanya satu dan utuh, yaitu satu bangsa yang utuh atau satu wilayah yang utuh.
Dalam hubungannya dengan Bhinneka Tunggal Ika, maka konsep integrasi nasional sangat berkaitan erat dengan konsep identitas nasional. Identitas nasional adalah manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri yang khas, yang dari ciri khas tersebut, suatu bangsa menjadi berbeda dengan bangsa lain (Wibisono dalam Herdiawanto & Hamdayama, 2010).
Dilihat dari konteks Indonesia, identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya (Herdiawanto & Hamdayama, 2010).
- Bhinneka Tunggal Ika sebagai Identitas Bangsa Indonesia
Jati diri bangsa Indonesia atau identitas bangsa Indonesia merupakan suatu yang pelik, ada yang beranggapan sebagai bangsa Indonesia harus melepaskan identitasnya yang berifat kesukuan atau keanggotaannya dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat. Jati diri bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang telah disepakati bersama seperti cita-cita masa depan yang sama berdasarkan pengalaman sejarah baik pengalaman yang menggembirakan maupun yang pahit. Semuanya itu telah membentuk rasa solidaritas yang tinggi sebagai satu bangsa dan oleh sebab itu bertekad untuk memperbaikai masa depan yang lebih baik.
Bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing. Itu sebabnya bhinneka Tunggal Ika menjadi lambang negara kita sebagaimana dicantumkan dalam pasal 36A UUD. Dari kebhinnekaan itulah ingin diwujudkan identitas Bangsa Indonesia. Dengan kata lain Bhinneka Tunggal Ika merupakan gambaran nyata dari keadaan masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk dan ini pun dijadikan sebagai dasar perjuangan bangsa Indonesia dalam membentuk integrasi nasional.
Masalah yang dihadapi oleh bangsa masyarakat-negara yang sedang berkembang tidak hanya struktur masyarakat yang sangant majemuk secara cultural sehingga sukar menciptakan suatu identitas yang disepakati bersama. Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman.
Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut diharapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berhasil mewujudkan integrasi nasional di tengah masyarakatnya yang majemuk. Selain itu juga sebagai landasan atau dasar perjuangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia agar dikenal di mata dunia sebagai bangsa yang multikultural.
Oleh karena itu, masyarakat majemuk menjadikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi, nasionalisme, kekeluargaan, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai dasar negara, sedangkan nilai-nilai lain yang merujuk pada individualisme tidak dijadikan sebagai ideologi nasional karena dipandang tidak tepat dan tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat.
Selain itu, masyarakat yang majemuk juga dipandang sebagai masyarakat yang rentan dengan konflik yang bisa menyebabkan disintegrasi bangsa, maka dari itu nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi, nasionalisme, kekeluargaan yang diwujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar perjuangan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
- Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Landasan Tercapai Integrasi Nasional
Identitas bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan dan terus menerus berkembang atau seperti yang telah dirumuskan Bung Karno merupakan ekspresi dari roh kesatuan Indonesia, kemauan untuk bersatu dan mewujudkan sesuatu dan bermuatan yang nyata. Perwujudan identitas bangsa Indonesia tersebut jelaslah merupakan hasil proses pendidikan sejak dini dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal dan non formal.
Menurut Masykuri Abdillah (2015), salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokatis adalah tewujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan. Kemajemukan ini merupakan Sunnatullah (hukum alam). Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama dan sebagainya, indonesia termasuk salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul oleh para Founding Peoples kita, sehingga mereka menggali konsep pluralisme ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Tentunya setiap bangsa ingin menonjolkan keunggulan dari identitas bangsanya terlebih-lebih dalam era globalisasi dewasa ini di mana pertemuannya antar bangsa menjadi sangat cepat dan mudah. Dalam pergaulan antar bangsa nilai-nilai yang positif dari suatu bangsa akan ikut membina perdamaian dan kehidupan yang lebih tenteram di planet bumi ini. Identitas bangsa indonesia seperti yang kita kenal sebagai bangsa yang ramah, toleran, kaya akan tradisi dari suku-suku bangsa yang bhinneka perlu terus dikembangkan untuk kebudayaan dan perdamaian seluruh umat manusia.
Dengan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an itu berarti masyarakat Indonesia adalah plural. Dan di dalam masyarakat plural, dialog adalah keniscayaan bahkan keharusan. Memang isu pluralisme adalah setua usia manusia, hanya cara dan metode manusia menghadapinya yang berbeda. Jadi masyarakat yang majemuk itu haruslah mengadakan dialog agar integrasi tetap terjaga dan mereka juga harus bersatu dalam perbedaan.
Prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) merupakan salah satu identitas pembentuk bangsa. Yang dimaksudkan dengan bersatu dalam perbedaaan adalah kesetiaanwarga masyarakat pada suatu lembaga yang disebut negara, atau pemerintahan yang mereka pandang dan yakini mendatangkan kehidupan yang lebih manusiawi tetapi tanpa menghilangkan keterikatan kepada suku bangsa, adat-istiadat, ras, atau agama. Setiap warga masyarakat akan memiliki kesetiaan ganda (multi loyalities) sesuai dengan porsinya. Walaupun mereka tetap memiliki keterikatan terhadap identitas kelompok, namun mereka menunjukan kesetiaan yang lebih besar pada kebersamaaan yang berwujud dalam bentuk bangsa-negara di bawah suatu pemerintahan yang berkeabsahan.
Membina identitas bangsa memerlukan upaya yang berkesinambungan serta berkaitan dengan berbagai aspek. Kedudukan seseorang sebagai warganegara Indonesia tidak mengenal diskriminasi, kehidupan bersama yang penuh toleransi dan menghindari berbagai perasaan curiga satu dengan yang lain atau tidak adanya trust di dalam kehidupan bersama, kemampuan dan keinginan untuk melihat perbedaan antar suku bukan sebagai hal yang memisahkan di dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari bahkan lebih mempererat dan memperjaya kehidupan dan kebudayaan nasional. Ini dikarenakan dalam era globalisasi sekarang ini setiap bangsa ingin menonjolkan identitas bangsanya agar lebih dikenal di mata dunia.
Realitas Multikulturalisme dalam Konteks Bhinneka Tunggal Ika
- Persatuan dalam Bingkai NKRI
Dalam bigkai Negara Kesatuan Republik Indonesia persatuan tidaklah dimaknai sebatas pengabungan multikultural. Tidak sebatas bersatuanya ragam kultur dalam satu bingkai kebudayaan nasional seluruh masyarakat nusantara. Semangat persatuan yang digagas dalam memerdekakan bangsa Indonesia mengandung dua makna penting sebagai landasanya. Pertama, adanya kesamaaan nasib keterjajahan akibat kolonialisme. Kesadaran menjadi sebuah nation, justru bangkit ketika penjajahan terjadi di bumi nusantara. Kelompok –kelompok ras, suku, adat serta agama mengalami represifitas yang sama sehingga mewujud dalam satu semangat yang sama yaitu bersatu untuk megusur kolonial dengan membuat satu kesatuan bangsa dan negara.
Kedua, kesamaan cita-cita. Selain kesamaan nasib sebagai bangsa sepenindasan, ada kehendak bersama yang juga ingin diwujudkan secara kolektif. Presiden pertama Indonesia Soekarno juga telah menyatan bahwa kemerdekaan hanyalah sebatas pintu gerbang, bukan tujuan final. Tidak cukup sebatas bersatu mengusir penjajah dan merdeka, untuk itu ada kepentingan kolektif yang mewujud sebagai cita-cita besar bangsa Indonesia yaitu terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Dibentuknya suatu susunan pemerintahan Indonesia juga tidak luput dari amanah tersebut.
Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa persatuan tersebut memiliki konsekuensi logis yaitu terintegrasinya masyarakat. Hal ini berimplikasi pada penyatuan kebudayaan lokal yang terwadahi dalam satu payung kebudayaan nasional. Ki Hadjar Dewantara (1952) dalam tulisanya yang bertajuk Kebudayan Nasional menyatakan bahwa kesatuan kebudayaan berarti kesamaaan sifat-sifat dan bentu-bentu yang pokok dalam hidup dan penghidupan rkyat diseluruh negri itu, dan sekali-kali tidak mengharuskan adanya kesamaan dalam segala isi dan cara atau bagian-bagian hidup dan penghidupan segenap rakyat, karena biasanya disamping kesamaan alam dan zaman yang pokok-pokok, masih ada perbedaan-perbedan keadaan di daerah-daerah, yang sangat mempengaruhi hidup dan penghidupan.
Lebih lanjut Ki Hadjar menyatakan perbedaan-perbedaan keadaan di daerah-daerah makin lama makin akan berkurang, apalagi hubungan antara daerah-daerah tersebutbaik yang bersifat lahir maupun batin semakin dipermudah; dengan begitu kemajuan kearah keastuan kebudayaan dalam zaman yang moderen ini, pasti akan terjadi dengan sndiri dan bahkan dapat dipercepat.
Kebudayaan nasional itu sebenarnya tumbuh atau terbentuk dengan memakai bahan-bahan di daerah, sedangkan kebudayaan daerah itu senantiasa dapat isi dari kebudayaan kota-kota. Hidup manusia di seluruh dunia, begitupun hidup kehidupan bangsa-bangsa menunjukan sifat tumbuh maju ke arah kesatuan sedunia dengan melalui jalan: kontinyu dengan sfat aslinya, konvergen dengan aliran-aliran lain, dan akhirnya bersatu secara konsentris dalam lingkungan universal, yaitu menjadi “anggota yang berpribadi” dari kesatuan perikemanusiaan sedunia.
Tanah air kita Indonesia mulai dahulu selalu merupakan negara kesatuan, baik geografis maupun historis dan kultural. Sesudah pemulihan kesatuan negara dari bangsa kita, berdasarkan Prolamasi 17 Agustus 1945, maka pastilah proses saling medekati antara rakyat di segenap kepulaiankita itu akan berjalan pula, proses itu dapaat dan harus kita permudah dan harus kira percepat.Untuk menghindari reaksi yang dapat menyukarkan keastuan (integrasu) kebudayaan, hendaknya jangan menyatukan apa yang tidak mungkin dan tidak perlu untuk disatuak, cukuplah kita hanya menyatuka pokok-pokoknya saja.
Kebudayaan nasional indonesia ialah segala pucuk-pucuk dan sari-sarikebudayaaan daerah diseluruh kepulauan , baik yang lama maupun yang baru, yang berjiwa nasional. Untuk itu ada beberapa hal yang disarankan oleh peletak dasar kebudayaan dan pendidikan bangsa Indonesia ini:
- Menghentikan pemeliharaan segala kebudayaan lama, yang merintangi kemajuan hidup prikemanusiaan.
- Meneruskan pemeliharaan kebudayaan lama yang bernilai dan bermanfaan bagi hidup perikemanusiaan, dimana perlu diubah, diperbaiki dan disesuaikan dengan zaman baru.
- Memasukan kebudayaan dari luar kedala alam kebudayaan bangsa kita, asalkan yang dapat mengembangkan dan memperkaya hidup dan penghidupan bangsa kita.
- Konsensus Dasar Kebudayaan Indonesia
Pada seputaran tahun 1930-an, beberapa tahun menjelang kemerdekaan Indonesia sudah terjadi perdebatan yang cukup besar antara dua arus pemikiran, meskipun tetap dalam satu platform perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Tod Jones (2015:58) megemukakan bahwa terdapat dua kelompok utama dari kaum nasionalis muda yang memberikan pengaruh besar atas politik kebijakan di Indonesia sejak 1927, Soekarno muncul sebagai pemimpin nasionalis dengan basis dukungan yang luas, yang menganjurkan posisi seperti Islam, marxisme, dan nasionalisme. Alternatif lain adalah kelompok sosialis-nasionalis berpendidikan barat (Hatta, Sutan Sjahris, Ali Satroamijoyo, dan Sukiman Wirjosanjojo) dengan pendidikan Internasional (terutama Belanda) yang menyukai strategi kaderisasi.
Dua arus tersebut akhirnya menyatu dalam perjiangan politik mengusrir kolonialisme dengan jalan koperasi memanfaatka sitausi dari kedatangan Jepang. Lebih lanjut Sutan Takdir Alisjahbana mendiskripsikan perbedaan antara masyarakat Indonesia dengan pra-Indonesia dalam aspek kebudayaan
Pasca kemerdekaan ada satu perubahan medasar dari yang semula berkencenderungan regulasi budaya menjadi kepemimpinan budaya. Empat konvensi budaya yang disponsori oleh negara yang dadakan antara tahun 1948 dan 1954 merupakan jendela yang penting kedalam rumusan kebijakan budaya. Dipimin oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan, Pengamatan, dan Kebudayaan yang pertama.Wakil presiden Hatta (1950:15) mendefinisan kebudayaan sebagai kebalikan dari alam dan merupakan produk dari “perjuangan umat manusia untuk mencapai tataran eksistensi lebih tinggi”, membagi kebudayaan menjadi dua jenos: material dan spiritual. Menurut Hatta Barat unggul dalam produksi kebudayaan material tetatpi telah tertinggal jauh di belakan dalam mengejar kebudayaan spiritual sementara kemakmuran yang bersiat budaya alah hasil dari keseimbangan antara kedua jenis tersebut.
Gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara itu penting bagi konseptualisasi kebudayaan Indonesia selama periode tersebut dan ia adalah sumber yang paling mungkin untuk definisi tentang kebudayaan Indonesia yang melengkapi UUD 1945 (Yampolsky 1995). Kebijakan pendidikanya mencerminkan persfektif sinkretis tentang kebudayaan Indonesia.
Kesimpulan dan Refleksi
Sebagian kritikus sosialis menemukakan pendapat bahwa multikulturalisme dalam bentuk pengakuan yang paling vokal merupakan semua gangguan dan persoala redistribudi yang jauh lebih serius, dan harus tidak berhubungan dengan politik progresif. Lebih jauh Parekh (2008:478) menaggapi bahwa jika redistribusi merupakan semua ujung persoalan, akan sulit menjelaskan mengapa kita perlu menghormati jalan hidup orang-orang pribumi di berbagai penjuru. Orang-orang pribumi biasanya hidup dalam kemiskinan, dan karena jalan hidup mereka sebagian jalan hidup mereka bertanggung jawab untuk hal ini. Merek uga sering menempati sumber daya tanah yang luas, mineral, kayu, dan seteusnya, dan lagi-lagi tidak jelas megapa kita tidak seharusnya memperoleh dan menggunakan ini untuk menaikan level umum kemakmuran.
Kita mungkin berjalan lebih jauh dan bertanya mengapa redistribusi merupakan tujuan yang perlu dicapai dan ketidaksetaraan tidak dikehendaki, sekalipun kehidupan dasar setiap orang telah erpenuhi. Kembali disini dukungan politik pengakuan memberikan sumbangan yang berharga. Disamping kritik politik, moral, sosial, lingkungan, dan kritik ketidaksetaraan lain yang umum, mereka memberikan kritik budaaya tantanganya.
Besarnya ketidaksetaraan ekonomi tidak hany terkonsentrasi pada kekuatan ekonomi namun juga kekuatan budaya di tengah kelas kecil masyarakat dan memungkinkan mereka untuk mengatur corak moral dan budaya masyarakat. Kelompok dominan memberikan harga diri dalam bentuk kehidupan dan cara tertentu dalam melakuan sesuatu, menyemangati ambisi dan mtivasi tipe tertentu, mengistimewakan nilai-nilai tertentu, cita-cita dan karier. Sebuah masyarakat yang tidak sederajat mempunyai dorongan hegemonisasi, mempertahankan keragaman yang luas, dan identitas-identitas penting, dan melemahkan keanekaraganan perspektif dan jalan hidup.
Politik redistribusi dan pengakuan adalah penting dan perlu digabungkan ke dalam suatu teori keadilan yang koheren. Politik redistribusi memberikan tatangan terhadap penyimpangan kelas negara dan cara bagi mereka untuk mengesahkan dominasi ekonomi. Sedangkan politik pengakun menantang bias budaya dan cara dimana hal itu melegitimasi domiasi budaya. Jauh dari situasi konflik, dua bentuk politik tersebut menawarkan wawasan pelengkap dalam struktur dan mekanisme ketidaksetaraan, dan menyediakan stratei ketergantungan untuk menghadapi dominasi budaya dan ekonomi yang saling menguatkan.
Dari fakta-fakta yang ada diatas, dapat ditarik satu garis kesimpulan bahwa meskipun Indonesia terdiri dari begitu banyak bahasa, namun tetap menyatu dalam satu kesatuan sebagai sebuah bangsa dan negara. Multikulturalisme yang ada telah tumbuh menjadi kebudayaan nasional yang begitu kaya dan beraneka ragam. Penyatuan bangsa Indonesia atas dasar kesamaan nasib dan cita-cita bersama berimplikasi pada terintegrasinya budaya nasional. Toleransi atas berbedanya suku, ras, maupun agama harus dipupuk subur dalam tumbuh kembangnya masyarakat namun tanpa menegasikan cita-cita bersama menuju masyarakat adil dan makmur.
Kebhinnekaan Indonesia sebagaimana tergambar dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika perlu dipahami sebagai imagined community (komunitas-komunitas terbayang) bertujuan membangun solidaritas yang positif, baik pada level nasional atau level yang lebih kecil. Sebagai komunitas terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak akan tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Dalam arti demikian, bangsa Indonesia adalah proyeksi ke depan dan sekaligus ke belakang. Karena itu tidak pernah dikatakan bangsa itu “lahir” melainkan ia “hadir” dalam formasi sebagai suatu historical being sebagaimana dikatakan komunitas-komunitas terbayang.
Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena pada saat masyarakat Indonesia tidak saling mengenal sebagian besar anggota lain, tidak bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka justru seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik antarkelompok masyarakat, yang pada gilirannya, konflik-konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial (social disharmony). Di sinilah perlunya dibangun politik Bhinneka Tunggal Ika yang memberikan tempat yang pantas pada keberagaman itu.
Daftar Pustaka
Arif, Dikdik Baehaqi. 2008. Pengembangan Warga Negara Multikultural Implikasinya terhadap Kompetensi Kewarganegaraan. Tesis SPs UPI: Tidak diterbitkan.
Aryadini, W., 2015, Asal- Usul Bhinneka Tunggal Ika (The History of Bhinneka Tunggal Ika), Jakarta : UI-Press.
Azra, Azyumardi. 2006. “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
Dewantata, H., 2011, Kebudayaan, Yogyakarta : Yayasan Persatuan Tamansiswa
Eka Darmaputera. 1997. Pancasila : Identitas dan Modernitas Tinjauan Etis dan Budaya, PT BPKGunung Mulia, Jakarta.
Hamid, E.S., 2012, Ekonomi Kerakyatan Bagian dari Kultur Indonesia, dalam Kebudayaan Mendesain Masa Depan, diedit oleh Swasono, S.E., dan Macaryus, S., Yogyakarta: UST-Press
Hardiman, F. B. 2002. Belajar dari Politik Multikulturalisme. Pengantar dalam Kymlicka. (2002). Kewargaan Multikultur: Teori Liberal mengenai Hak- hak Minoritas. Terjemahan oleh Edlina Afmini Eddin dari judul Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority. Jakarta: LP3ES.
Hardiman, F. B. 2002. Belajar dari Politik Multikulturalisme. Pengantar dalam Kymlicka. (2002). Kewargaan Multikultur: Teori Liberal mengenai Hak- hak Minoritas. Terjemahan oleh Edlina Afmini Eddin dari judul Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority. Jakarta: LP3ES.
Hidayat, B., 2012, Ilmu Pengetahuan, Tekonologi dan Kebudayaan dalam Berbangsa, dalam Kebudayaan Mendesain Masa Depan, Diedit oleh Swasono, S.E., dan Macaryus, S., Yogyakarta : UST-Press.
Jones, T., 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Kaplan, D., dan Manners, R.B., 2002, Teori Budaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Koentjanigrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta : UI-Press.
Koentjanigrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta : UI-Press.
Parekh, B., 2008, Rethinking Multiculturalism : Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Phillips, Anne. 2007. Multiculturalism Without Culture. Princeton: Princeton University Press.
Putra, K., Bhinneka Tunggal Ika sebagai Wujud Integrasi Nasional, Bali : Academia
Rustanto, B., 2015, Masyarakat Multikultural Indonesia, Bandung : PT Remaja Rosdakara.
Sujanto, B., 2007, Pemahaman Kembali Makna Bhinneka Tunggal Ika, Jakarta : Sagung Seto.
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dipresentasikan Tantular, Mpu. 2009. Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo.
Susetyo, B., 2012, Merawat Budaya Toleran, Menyelamatkan Janji Kebangsaan, dalam Kebudayaan Mendesain Masa Depan, Diedit oleh Swasono, S.E., dan Macaryus, S., Yogyakarta : UST-Press.
Swasono, S. E., 2012, Budaya Pancasila : Doktrin Kebangsaan dan Doktrin Kerkyatan dalam Perspektif Ekonomi, dalam Kebudayaan Mendesain Masa Depan, Diedit oleh Swasono, S.E., dan Macaryus, S., Yogyakarta: UST-Press
Wajidi. 2011. Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia.