Sejarah Konflik Vertikal Di Aceh
Arief Rachmat Fauzi dan Mohamad Zaim
Pengantar
Gerakan Aceh Merdeka pada mulanya merupakan sebuah gerakan yang tumbuh di sekitar lokasi industri di daerah Pidie. Gerakan ini dipelopori oleh seorang intelektual Aceh yang lama tinggal di Amerika Serikat. Ia adalah Muhammad Hasan di Tiro yang pernah bekerja pada kantor perwakilan Indonesia di PBB New York. Pada tahun 1954, Tiro menggabungkan diri secara terang-terangan ke dalam Darul Islam atau disebut dengan DI/TII pimpinan Daud Beureueh. Ia mengangkat dirinya sebagai duta besar DI/TII di PBB. Sekitar tahun 1974-1975, Tiro berada di Pidie untuk mulai mensosialisasikan idenya dan sekaligus menggalang kekuatan untuk berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pada tahun 1976 Tiro mamastikan rencananya untuk membuat gerakan bagi kemerdekaan Aceh, tetapi Tiro tidak lagi menempatkan ideologi Islam sebagai misi utama, melainkan mengusung tema nasionalisme dan patriotisme Aceh. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, Tiro segera menghubungi para ulama dan intelektual lainnya untuk mendukung rencananya. Tetapi tidak seluruh ulama di Aceh tertarik untuk bergabung dengan GAM. Pada tanggal 4 Desember 1976 di Pidie, Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh dari Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya GAM (Tiro, 1984).
Munculnya GAM merupakan akibat kebijakan pemerintah pusat dengan ABRI/TNI sebagai penopang utama yang dianggap tidak adil terhadap rakyat Aceh. Gerakan ini dapat di pandang sebagai representasi kekecewaan dan kemarahan rakyat Aceh terhadap Indonesia pada masa Orde Baru. Pada mulanya gerakan ini lebih di kenal sebagai ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation Front). Nama ini yang sering digunakan dalam dokumen-dokumen resmi GAM, meskipun oleh TNI (pada waktu itu ABRI dan Pemerintah) mereka sering di sebut sebagai Gerakan Pengacau Liar (GPL) (Nurhasim, 2003: 41).
GAM merupakan pemberontakan orang Aceh jilid ke-dua yang memandang bahwa tergabungnya Aceh dalam NKRI merupakan tindakan ilegal (Isre, 2003: 104). Faktor yang melatar belakangi mereka bergerak adalah karena posisi mereka terancam, baik dalam sektor ekonomi maupun politik, sebagai akibat kebijakan yang sentralistik pemerintah Republik Indonesia. Faktor pemicu utama adalah kelahiran birokrat dari Jawa yang menyingkirkan elit Aceh (Susan, 2009:142). Banyaknya jumlah anggota GAM berdampak pada berhasilnya GAM membentuk beberapa LSM yang turut mendukung pemisahan Aceh dari Indonesia, salah satunya adalah SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh) (Hadi, 2007: 55).
Perjuangan GAM sama halnya dengan SIRA, yang menanamkan visi kepada masyarakat agar setia dan berbagai lapisan sosial termotivasi berperan aktif dalam melakukan tindakan revolusioner. Perjuangan mereka mengangkat aspek historis dari kesenjangan sosial, ekonomi, dan ketidakstabilan yang di gunakan untuk melegitimasi gerakan yang dilakukan, di samping menimbulkan efek psikologis pada masyarakat untuk memberi dukungan terhadap perjuangan mereka.
Karena Aceh tidak dapatkan imbalan seperti apa yang mereka inginkan dari pemerintahan pusat, maka perpecahanpun tidak dapat di hindari. Ada tiga startegi GAM dalam membangun kekuatan organisasinya. Pertama, memanfaatkan sikap represif pemerintah terhadap situasi Aceh. Kedua, melalui pembangunan jalur internasional. Ketiga, memanfaatkan perasaan takut dan khawatir para investor lokal maupun asing yang berdiam di Aceh (Tippe, 2000: 70). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa awal mula munculnya permasalahan di acah adalah karena permasalahan ekonomi dan politik, terutama perebutan sumber daya lokal. Hingga akhirnya terciptanya gerakan etnoregional dalam bentuk GAM.
Konflik Vertikal Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Pusat
Konflik yang terjadi di Aceh mempunyai akar sejarah yang panjang. Akar konflik tersebut berkaitan erat dengan relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh. Dari segi historis, permasalahan konflik Aceh mengarah pada kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintahan Indonesia, dalam hal kesenjangan, keadilan, penegakan hukum, dan kepemimpinan nasional.
Peristiwa ini di anggap sebagai bentuk diskriminasi sehingga terjadi kecemburuan sosial yang sangat mendalam bagi rakyat Aceh yang menyebabkan terjadinya perubahan serta gejolak sosial yang sangat meluas. Selain itu, konflik di Aceh muncul akibat dari peminggiran identitas kultural masyarakat Aceh (Tippe, 2000: 70).
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sebab dari munculnya konflik di Aceh. Kekecewaan itu kemudian berdampak pada ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah akhirnya menimbulkan perlawanan yang terkoordinir dan mengakibatkan lahirnya gerakan perlawanan, yang dilakukan oleh GAM. Dalam perkembangannya GAM telah melalui tiga fase penting (Jayanti, 2013: 56-59), yakni:
- Fase pertama, pada tahun 1976-1989, GAM merupakan organisasi kecil yang anggotanya didominasi dari kaum terpelajar, operasi yang dilakukan untuk melawan GAM didominasi oleh TNI-AD di bawah Kodam I/Bukit Barisan. Mereka yang dijadikan sebagai objek kejahatan kemanusiaan oleh negara, yakni mereka yang menyatakan dirinya sebagai pendukung GAM. Pada akhir tahun 1979 pemerintah Indonesia berhasil menumpas gerakan ini, sehingga GAM menjadi gerakan bawah tanah.
Pada fase ini, operasi militer masih belum mendekontruksi kesadaran berbangsa orang Aceh, namun mulai menciptakan embrio gerakan yang lebih radikal dan matang. Sehingga Pada kurun waktu 1976 sampai dengan 1989 untuk mendukung kampanye anti pemberontakan, tentara Indonesia melakukan pengejaran dan serangan bersenjata serta pencarian (sweeping) dari rumah ke rumah terhadap anggota Gerakan Aceh Merdeka, di daerah yang diduga sebagai basis GAM.
- Fase Kedua, 1989-1998. Fase yang lebih di kenal oleh rakyat Aceh sebagai era Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM), dimulai ketika pada tahun 1989 kaum gerilyawan GAM yang telah melalui pendidikan militer di Libya sejak tahun 1986 kemudian muncul kembali di Aceh dan di susul pula oleh konsolidasi struktur komando GAM di Aceh. Pemerintah Indonesia pada tahun 1990-an kemudian juga mengambil kebijakan yang sangat militeristik dengan menggelar operasi Jaring Merah (operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 1998) dan memberikan status Daerah Operasi Militer (DOM).
Pada masa DOM, pasukan yang ditugaskan ke wilayah Aceh yang bergolak adalah pasukan satuan organik sebanyak 12 kompi dari pangdam Bukit Barisan yang dibantu oleh satgas Inteligen (Kopassus). Pasukan yang dikirim untuk mengamankan wilayah yang bergolak tersebut, dalam perkembangannya mengalami penyimpangan dari apa yang seharusnya mereka lakukan dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer untuk mengatasi GAM yang telah menelan banyak korban dan tindakan kekerasan terhadap rakyat Aceh.
Akibat DOM tersebut, ribuan anak menjadi yatim piatu, banyak rumah rusak atau dibakar, banyak istri yang menjadi janda, banyak orang cacat karena penganiayaan, dan korban jiwa pun sulit untuk di perkirakan jumlah pastinya.
DOM juga menyebabkan perekonomian Aceh mengalami stagnasi, sehingga kondisi kehidupan rakyat Aceh sangat memprihatinkan. Dalam perkembangannya, para korban baik laki-laki maupun perempuan, mereka generasi yang sudah tidak mempunyai harapan besar terhadap NKRI akibat tindak kekerasan, kemudian mereka bergabung dengan GAM. Hal ini terlihat dari adanya pasukan Srikandi yang merupakan pasukan perempuan GAM korban-korban DOM baik korban perkosaan maupun janda.
- Fase ketiga, Pasca 1998. Pada fase ini negara masih tetap menggunakan kekerasan, negara dalam menghadapi GAM maupun rakyat Aceh yang di dalam dirinya sudah mulai tumbuh semangat nasionalisme ke-Acehan, dimana popularitas GAM di mata rakyat Aceh meningkat. Hampir semua keluarga di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur menderita akibat DOM dan akhirnya Status DOM di cabut.
Hal ini terbukti bahwa selama masa DOM berlangsung, telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran di Aceh. Gerakan di Aceh pasca DOM di motori oleh mahasiswa dengan salah satu agendanya yaitu menuntut kemerdekaan. Tuntutan merdeka yang mereka ajukan ini sebenarnya hanya sebagai strategi agar pemerintahan pusat lebih memperhatikan mereka, karena tuntutan mereka yang sebenarnya adalah pengadilan atas korban-korban DOM. Karena tuntutan mereka tidak direspon dengan baik oleh pemerintahan pusat, maka gerakan ini semakin meluas.
Faktor Penyebab Konflik Vertikal di Aceh
Konflik Aceh merupakan salah satu konflik yang pada awalnya telah tumbuh sejak masa-masa awal kemerdekaan. Faktor yang melatar belakangi masyarakat Aceh melakukan pergerakan adalah karena mereka merasa posisinya terancam, baik dalam sektor ekonomi maupun politik, sebagai akibat dari kebijakan yang sentralistik (Hadi, 2007: 49-50).
Pemahaman tentang faktor-faktor penyebab munculnya konflik di Aceh akan mempermudah dalam upaya mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Pada masa pemerintahan Orde Baru kebijakan ditekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset-aset sumber daya alam di Aceh mulai dimanfaatkan untuk pembagunan nasional.
Aceh kaya akan sumber daya alam tetapi dalam implementasi pemanfaatan penggunaan sumber daya alam tersebut tidak melibatkan masyarakat Aceh baik dalam proses perencanaan, pengolahan, dan distribusi hasil sumber daya alam (Kell, 2005: 1). Secara struktural, sebagai contoh pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru, pada tahun 1971, di Lhoksumawe, di temukan cadangan gas alam dalam jumlah yang cukup besar.
Tahun 1974 mulai di bangun pabrik Liquefied Natural Gas (LNG). Kemudian sejak tahun 1977 sudah di pasarkan secara komersial dan menjadikan Aceh sebagai kawasan industri yang strategis. Tetapi kondisi fisik daerah yang ada di sekitar kawasan industri cenderung tidak berubah (Hadi, 2007: 50). Arti strategis Aceh bertambah dengan berdirinya beberapa perusahaan besar, antara lain PT. Pupuk Asean yang berdiri pada tahun 1981. Selanjutnya pada tahun 1982 hingga tahun 1985 di bangun PT Pupuk Iskandar Muda, pabrik kertas PT. Kertas Kraft Aceh, serta sebuah MNC yakni Mobil Oil. Sejak itu Aceh mulai berkenalan dengan industri-industri besar. Wilayah Aceh Utara kemudian di kemas dalam satu wilayah industri yang di namakan Zona Industri Lhokseumawe (Nurhasim: 2003: 52).
Beberapa perusahaaan yang berada di Aceh berdampak pada ekonomi Aceh mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup baik. Tetapi tingkat pertumbuhan yang cukup baik tersebut tidak memberikan pengaruh yang positif bagi kesejahteraan penduduk setempat. Bahkan kehidupan masyarakat yang hidup di kawasan industri menunjukan ketidakmampunya dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berubah begitu cepat (Hadi, 2007: 50). Industrialisasi yang terdapat di Aceh pada tahun 1984, memberikan sumbangan yang luar biasa terutama dari sektor migas. Tetapi pembangunan sektor industri tersebut meninggalkan masalah seperti (Kurnia 2013: 60):
- Ketidakpuasan dalam hal ganti rugi tanah yang di gunakan dalam membangun industri.
- Sebagian masyarakat di takut-takuti dan diteror untuk menyerahkan tanah dan menggunakan pihak militer dalam aksi-aksi teror dan kekerasan baik fisik maupun nonfisik.
- Penduduk asli Aceh yang sudah tergusur tanahnya di tempatkan di lokasi-lokasi penampungan yang jauh dari desa asal mereka dan jauh dari mata pencaharian mereka semula.
- Adanya indikasi eksploitasi pemerintahan pusat atas kekayaan alam Aceh yang terlalu besar.
Faktor ekonomi inilah yang berwujud adanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Karena Sistem sentarlistik Orde Baru telah membuat posisi tawar-menawar yang lemah bagi daerah dan memberikan alokasi sumber-sumber kekuasaan yang terlalu besar ke pusat dan tidak menempatkan daerah dalam posisi yang sejajar dalam sistem politik.
Aceh hanya menjadi subordinat dari pusat yang melayani kepentingan pusat saja, dan akibatnya menimbulkan eksploitasi secara sistemik, yaitu eksploitasi politik dan ekonomi. Aceh tidak diberikan tempat yang seharusnya, apalagi dalam penerapan keistimewaan itu tidak di berikan oleh pemerintah pusat (Sihbudi, 2001: 56).
Dampak Konflik Vertikal di Aceh Terhadap Kondisi sosialnya
Konflik berkepanjangan mengakibatkan ribuan orang menjadi korban kekerasan, hancurnya dunia pendidikan, hilangnya kesempatan kerja, aktivitas ekonomi rakyat tidak berjalan, dan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Dampak tidak langsung dari konflik ini adalah timbulnya dampak psikologis yang di derita oleh rakyat Aceh, baik sebagai individu, kelompok, maupun sebagai komunitas dari suatu wilayah yang secara geo-etnopolitik dikenal dengan nama Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan dampak langsungnya adalah meninggalnya ratusan bahkan ribuan jiwa, hancurnya sarana umum, perumahan, dan lain sebagainya..
Rekonsiliasi Konflik Vertikal di Aceh
Seringkali upaya penyelesaian konflik Aceh dilakukan pemerintah pusat dengan cara militeristik yang represif. Pada masa pemerintahan Presiden Habibi tahun 1998, pemerintah pusat mulai membuat kebijakan dengan mengedepankan pendekatan militeristik dalam menjaga keamanan di Aceh. Kemungkinan besar, meski secara formal Habibie ditunjuk sebagai presiden baru, namun tidak memiliki kontrol penuh atas polisi dan militer, yang kala itu secara personal berada di tangan Jenderal Wiranto. Akan tetapi, pendekatan tersebut dilaksanakan setengah hati yang berdampak pada bertambahnya kekecewa masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat (Dhakidae, 2001: 39).
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000, langkah-langkah dibuat pemerintah lebih berorientasi kepada penyelesaian konflik dengan mencoba melakukan pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada tanggal 30 Januari 2000 Presiden Abdurrahman Wahid meminta kesediaan Henry Dunant Center for Humanitarian (HDC) untuk berperan sebagai penengah dalam proses perundingan atau memfasilitasi dialog menyelesaikan konflik Aceh.
Ketika berpidato di HDC pada tanggal 30 Januari 2000, Abdurrahman Wahid menekankan pentingnya peran dialog kemanusiaan dalam mengubah situasi konflik yang pada umumnya didasarkan pada ideologi. Permintaan ini kemudian ditanggapi positif oleh HDC. Aksi pertama yang dilakukan HDC adalah membawa pemerintah pusat Indonesia dengan GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan Januari 2000, yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang dihadiri kedua belah pihak (Isre, 2003: 128).
Meskipun tidak memiliki kepercayaan terhadap Pemerintah Indonesia, GAM segera menerima tawaran dialog dengan tujuan menginternasionalisasi kasus Aceh dan mendapatkan dukungan atau simpati dari Amerika atau negara-negara Eropa. Harapannya mereka dapat menekan Indonesia agar melepaskan Aceh. GAM juga berharap dialog ini dapat membuka tindakan yang dilakukan TNI terhadap warga Aceh, khususnya dalam tindakan kekerasan.
Perundingan tersebut menghasilkan Joint Understanding of Humanitarian Pause for Aceh yang di tanda tangani pada tanggal 12 Mei 2000. Kedua pihak yang bertikai melalui mediasi Henry Dunant Centre (HDC) menandatangani Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh (Nurhasim, 2003: 57). Langkah ini dimaksudkan sebagai langkah awal atau gerbang menuju penyelesaian konflik yang sebenarnya. Dengan tujuan untuk:
- Mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Aceh akibat konflik melalui Komite Bersama Kemanusiaan.
- Menyediakan bantuan keamanan guna mendukung pengiriman bantuan kemanusiaan dan untuk mengurangi ketegangan serta kekerasan yang dapat menyebabkan penderitaan selanjutnya melalui Komite Bersama Bantuan Keamanan.
- Meningkatkan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan untuk mendapatkan solusi damai terhadap situasi konflik di Aceh (trust building).
Kendati HDC dianggap gagal, lembaga tersebut setidaknya memberikan pengalaman bahwa dialog dan pertemuan untuk membahas konflik di Aceh bukan sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Keberhasilan yang dilakukan oleh HDC terletak pada kemampuan mencairkan kebekuan serta membatasi dan memperlunak perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dengan GAM.
Berbagai kegagalan yang mungkin pernah dilakukan HDC merupakan pelajaran berharga yang bisa diantisipasi oleh aktor resolusi konflik berikutnya. Selanjutnya pemerintah pusat mengambil beberapa kebijakan yang bersifat persuasif kepada rakyat Aceh, dengan diumumkannya Instruksi Presiden No. 4 tahun 2001 mengenai langkah-langkah komprehensif penyelesaian konflik Aceh yang mencakup enam bidang yaitu politik, ekonomi, sosial, hukum, ketertiban manusia, keamanan, pendidikan, dan media informasi dan komunikasi (Hadi, 2007: 59).
Sedangkan pada 23 Juli 2001, Presiden Megawati menyusun prioritas utama dalam mempertahankan kesatuan Negara, dengan diberlakukan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 mengenai Status Otonomi Khusus, yang mengubah Propinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). UU tersebut mengatur antara lain pembagian pendapatan antara pusat dan daerah yaitu 30% dan 70%, pelaksanaan syari’at Islam dengan di bentuknya Mahkamah Syariah dan pemilihan gubernur NAD secara langsung.
Dengan adanya kebijakan ini memberikan beberapa implikasi yang cukup penting, di antaranya penetapan UU tersebut merefleksikan pergeseran inisiatif legislatif dari birokrat pusat kepada parlemen dan provinsi, sehingga bukan saja pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah, akan tetapi dari birokrat ke parlemen. Dampaknya adalah diambilnya strategi yang berbeda oleh pemerintah pusat terhadap konflik Aceh.
Setelah berlakunya kesepakatan Cessation on Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002, tidak berdampak secara signifikan terhadap konflik yang terjadi di Aceh. Sementara pemerintah tengah mengkaji tiga alternatif kebijakan yang akan diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam. Akhirnya keluarlah Keputusan Presiden No.18 tahun 2003 yang diumumkan pada 19 Mei 2003 untuk menerapkan status darurat militer di Aceh. Sebagaimana kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya, upaya-upaya pemerintahan Presiden Megawati tidak secara otomatis dapat meredakan kekerasan dan ketegangan yang di rasakan masyarakat Aceh.
Susilo Bambang Yudhoyono yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) dan Jusuf Kalla sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) pada Kabinet Gotong Royong Megawati, memilih cara non militer dalam menyelesaikan permasalahan konflik di Aceh. Terlebih inisiatif Jusuf Kalla dengan cara bekerja di balik layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM, dalam rangka komunikasi politik dan membangun kepercayaan.
Pada masa kepemimpinanan SBY-JK tahun 2004, menyebabkan second track diplomacy yang telah dijalani pada masa pemerintahan Presiden Megawati dapat dilanjutkan. Hingga akhirnya bencana tsunami pada 26 Desember 2004 ikut berperan dalam mendamaikan para pihak yang bertikai serta mempercepat dorongan bagi pemerintah RI guna mengakhiri derita fisik dan psikis rakyat Aceh (Nurhasim, 2008: 60-61).
Pada masa pemerintahan SBY-JK mulai menemukan titik temu dengan GAM. Presiden SBY memilih penyelesaian secara damai untuk masalah Aceh dengan mengedepankan soft power. Kunjungan Jusuf Kalla ke Helsinki untuk bertemu dengan Martti Ahtisaari dan beberapa tokoh GAM Swedia seperti Zaini Abdullah, Malik Mahmud Al Haytar dan Bachtiar Juli menjadi upaya untuk mengakhiri konflik Aceh secara komprehensif pasca penandatanganan kesepahaman damai.
Kerendahan hati merupakan strategi yang dapat meluluhkan hati para petinggi GAM untuk akhirnya sama-sama bersepakat menghentikan konflik yang sangat merugikan Indonesia, utamanya rakyat Aceh. Pertemuan demi pertemuan yang di fasilitasi oleh pihak ketiga yaitu Crisis Management Initiative (CMI) di Helsinki, Finlandia. Lembaga yang di pimpin oleh mantan Presiden Helsinki, Martti Ahtisaari mulai ada sedikit sikap yang melunak dari pihak GAM, dan atas prakarsa CMI lahir sebuah Nota Kesepahaman di Helsinki.
Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia melalui mediator Martti Ahtisaari, dengan di wakili oleh Hamid Awaluddin (Mentri Hukum dan HAM) dari pihak RI sedangkan GAM di wakili oleh Zaini Abdullah (Mentri Luar Negri GAM) (Nurhasim, 2008: 64-65).
KESIMPULAN
Munculnya konflik di Aceh disebabkan terjadinya kesenjangan sosial yang muncul antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut masyarakat Aceh pemerintah pusat kurang memperhatikan kesejahteraan dan keadilan pembagian hasil sumber daya alam yang terdapat di Aceh, serta tidak diakomodasikannya aspirasi rakyat Aceh dalam rangka membentuk sistem pemerintahan wilayah Aceh berdasarkan keistimewaan identitas budaya dan etno-religiusnya dengan menerapkan syariat Islam.
Pada akhirnya menimbulkan kekecewaan besar melalui gerakan separatis GAM. Kebijakan pemerintah orde baru yang militeristik dan mengedepankan kekerasan melalui DOM, justru semakin membuat masyarakat Aceh mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Penderitaan masyarakat Aceh berakhir pada tanggal 15 Agustus 2005, yakni dengan ditandatangani kesepakatan damai (MoU) antara Indonesia dengan GAM yang dilaksanakan di Helisinki, Finlandia.
Dengan melihat peristiwa tersebut, hendaknya pemerintah adil dalam melakukan pembangunan dan harus melihat sebab terjadinya konflik tersebut. Dengan mengetahui sebab terjadinya konflik tersebut diharapkan dapat mengetahui akar permasalahan dari konflik tersebut. Sehingga dapat dengan segera konflik tersebut teratasi. Disatu sisi pemerintah hendaknya selalu adil dalam hal pemerataan pembangunan di berbagai provinsi sesuai dengan kebijakan yang berlaku dengan melihat kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang terdapat di daerah tersebut.
*) isi dari artikel ini adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi INRES
Daftar pustaka
Dhakidae, Daniel. 2001. Akar Permasalahan dan Alternatif Proses Penyelesaian Konflik Aceh Jakarta Papua. Yappika. Jakarta.
Hadi, Syamsul dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Isre, Mohammad Soleh, ed. 2003. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Jakarta
Jayanti, Kurnia. 2013. Konflik Vertikal Antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta Tahun 1976-2005. Fakultas Adab dan Humaniora. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Kell, Tim. 2005. The Roots of Acehnese Rebelion 1989-1992. Cornell Modern Indonesia Project. Cornell University. New York.
Nurhasim, Moch. dkk. 2003. Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian. Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif Lipi. Jakarta.
Nurhasim, Moch. 2008. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki. P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar. Jakarta.
Riza Sihbudi, dkk. 2001. Bara dalam Sekam :Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau. Mizan. Bandung.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Kencana. Jakarta.
Thung Ju Lan, dkk. 2005. Penyelesaian konflik di Aceh: Aceh dalam proses rekontruksi dan rekonsiliasi. Riset Kompetitif Pembangunan Iptek Sub Program Ottonomi Daerah Konflik dan Daya Saing LIPI. Jakarta.
Tippe, Syarifuddin. 2000. Aceh di Persimpangan Jalan. Cidencindo Putaka. Jakarta.
Tiro, Tengku Hasan di. 1984. The Price of Freedom the Unfinished diary of Teungku Hasan di Tiro. National Liberation Front of Aceh Sumatera.