Suyatno dan Wahyu Waliyono
Pengantar
Sebelum kita mengurai sejarah perkembangan Nasionalisme Indonesia, ada baiknya mendudukan ikhwal nasionalisme, dan hal apa yang mendasari kelahirannya. Secara bahasa, istilah nasionalisme pada dasarnya berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Kata bangsa pada kalanya memiliki dua pengertian (Yatim, 2001: 57-58) : pengertian antropologis-sosiologi (memaknai nasionalisme sebagai kedaulatan kultural) dan pengertian politik (memaknai nasionalisme sebagai kedaulatan politik). Secara antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu semangat yang timbul dari dalam diri masing-masing anggota masyarakat dengan rasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat-istiadat. Pengertian yang semacam ini memungkinkan adanya beberapa bangsa yang menetap dalam satu negara ataupun sebaliknya terdapat satu bangsa yang tersebar di berbagai negara. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat yang mendiami suatu teritori yang sama, dan tunduk pada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi baik ke luar maupun ke dalam. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Hans Kohn, nasionalisme adalah ketika individu-individu mengikatkan diri untuk hidup bersama dan kesetiaan tertingginya diserahkan kepada negara kebangsaan (Kohn, 1958: 1).
Pada dasarnya, dua pengertian yang disampaikan oleh Yatim merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Nasionalisme dalam pengertian antropologis mula-mula mendasarkan dirinya pada persamaan-persamaan kultur yang utama, seperti kesamaan keturunan, bahasa, agama, dan adat-istiadat. Ketika nasionalisme berkembang menjadi kedaulatan politik, nasionalisme mulai mengikutsertakan nilai-nilai lainnya seperti adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakatnya, serta adanya kepentingan ekonomi. Perkembangan lebih lanjut tentu saja adalah adanya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) dan hak untuk tidak dijajah oleh bangsa lain (freedom from slavery). Tampak jelas dalam catatan sejarah, hak untuk mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan politik merupakan sebuah kesadaran baru yang dipengaruhi oleh revolusi Prancis tahun 1789. Sementara itu, hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk tidak dijajah bangsa lain telah menjadi dasar nasionalisme dari negara-negara Asia–Afrika dalam membebaskan diri dari penjajahan pasca Perang Dunia II.
Selain pandangan di atas, masih banyak pemikir yang mengurai tentang nasionalisme. Salah satunya adalah Ben Anderson, dengan gaya pikir antropologisnya menuliskan tentang bangsa atau nasion sebagai berikut; “ia adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan” (Anderson, 2008: 8). Kemudian, Anthony D Smith dalam bukunya Nationalism, menyebutkan bahwasannya nasionalisme adalah: pertama, suatu proses pembentukan dan pertumbuhan negara-negara; kedua, suatu sentimen atau kesadaran memiliki negara; ketiga, suatu bahasa dan simbolisme bangsa; keempat, suatu gerakan sosial-politik atas nama bangsa, dan; kelima, suatu doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik umum maupun khusus (Smith, 2010: 5-6). Lebih lanjut, Michael A. Riff, mengungkapkan bahwa nasionalisme mensyaratkan adanya kesamaan-kesamaan seperti bahasa, budaya, keturunan, dan terkadang agama serta wilayah yang sama pula. Istilah nasionalisme dalam perkembangannya kerap bertumpang tindih makna dengan istilah etnik dari bahasa Yunani. Istilah etnik lebih mengarah pada kultur, bahasa dan keturunan bersama semata, sedangkan istilah nasionalisme membahas kesemua itu dalam konteks politik (Riff, 1995: 193-194).
Akar Kelahiran Nasionalisme
Nasionalisme (modern) sebagai sebuah konsep dijelaskan oleh Cahyo (Suwarno dalam Cahyo, 1995: 17-18) berasal dari dunia barat. Nasionalisme, mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang tergabung dalam kelompok Puritan. Nasionalisme yang lahir pada abad ke 18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan memberikan jaminan hak bagi setiap warga negara. Dari gerakan politik itulah negara kebangsaan (nation-state) berdiri di Eropa dengan menentukan batas-batasnya di satu pihak, dan melahirkan imperialisme di pihak lain.
Bertolak pada pembacaan yang berbeda, Dault (2004: 4), mengungkapkan bahwa nasionalisme berawal dari benua Eropa sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa –dalam pengertian negara bangsa- dipelopori oleh Luther melalui gerakan reformasi Protestan. Luther yang menentang kekuasaan Gereja Katolik Roma yang berkelindan dengan negara (kekuasaan raja), karena dalam penyelenggaraan kekuasaannya hanya untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan duniawi. Melalui reformasi gereja tersebut, Luther berbicara tentang hak warga negara, dan menyatakan bahwa kaum kristen boleh membela diri terhadap pemerintah yang sewenang-wenang, jika kaisar melanggar undang-undang, maka rakyat tidak usah mematuhinya (Budiman, 2002:26). Reformasi gereja yang dilakukan oleh Luther merupakan cikal bakal dari lahirnya negara modern sekaligus penanda dari munculnya kesadaran nation dengan spirit anti pemerintahan yang despotik.
Dari dua perbedaan sudut pandang tersebut terkait dengan sejarah kelahiran nasionalisme mempunyai persamaan spirit, yakni untuk mewujudkan keadilan dengan sistem pemerintahan negara yang tidak sewenang-wenang. Kendati demikian, nasionalisme yang semula hadir dengan mengusung panji-panji hak asasi manusia, berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan (Rasyidi dalam yatim, 2001: 63). Pada gilirannya, nasionalisme Eropa berubah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa dengan melahirkan penjajahan-penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme), khususnya dibenua Asia-Afrika dan Amerika Latin. Kondisi ini berlandaskan pada dua hal: pertama, ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi, sedangkan pasar dalam negeri telah mengalami over konsumsi; kedua, pandangan pemikir italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya (Machiaveli. 1991). Pada kondisi yang seperti inilah, nasionalisme berubah wujud menjadi chauvinisme.
Nasionalisme yang semula lahir dari dunia bagian barat kemudian berkembang ke timur hingga Asia dan Afrika sesaat setelah dilakukannya ekspansi-ekspansi/kolonialisasi bangsa barat atas bangsa timur, tetapi dengan corak, semangat dan nuansa yang berbeda. Di negara-negara Asia pada masa modern ini, nasionalisme lahir sebagai wujud perlawanan dari kekuasaan kolonial bangsa barat. Nasionalisme di Asia pun pada akhirnya memiliki corak yang Nasionalisme yang diperintah oleh kekuasaan kolonial secara represif seperti Indonesia telah melahirkan tokoh-tokoh nasionalis yang militan (seperti Soekarno, hatta Syahrir, dll) dengan corak pemikiran yang dengan bangsa barat.
Lahirnya Nasionalisme Indonesia
Kendati kesadaran dan kecintaan masyarakat untuk melindungi teritorinya dari ancaman asing telah ada ketika negeri ini masih dalam bentuk kerajaan. Dalam catatan historiografi Indonesia, banyak kerajaan-kerajaan yang mempertahankan wilayahnya atas penaklukan dari kerajaan lain. Akan tetapi hal ini dapat kita katakan sebagai bentuk dari etnonasionalisme di Indonesia, karena masih bersifat primordialistik dan berbasis pada lokalitas. Maka pada tulisan ini tidak akan diurai, karena dalam tulisan ini hanya akan mengulas nasionalisme (modern). Munculnya nasionalisme Indonesia tidak dapat dilepaskan realitas sosial pada waktu itu, yaitu penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa eropa di tanah Hindia Belanda (Indonesia). Nasionalisme Indonesia hadir sebagai antitesa dari paktik penjajahan dan dominasi Eropa atas masyarakat Indonesia. Kolonialisme yang sejatinnya mengandung tiga dimensi yaitu dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kultural pada gilirannya mendorong lahirnya nasionalisme Indonesia yang mengandung tiga dimensi pula yaitu membangun negara yang demokratis, membangun masyarakat yang berkeadilan sosial (di bidang ekonomi politik), dan menghidupkan kembali kepribadiannya. Nasionalisme yang berkembang di Indonesia itulah pada akhirnya membuktikan diri sebagai motor penggerak aktivitas perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaannya (Cahyo, 1995: 29).
Kendati pada masa penjajahan, sudah dilakukan perjuangan untuk mengusir bangsa penjajah dari bumi pertiwi ini. Salah satunya adalah upaya yang dilakukan oleh pangeran Dipanegara melalui perang jawa (1825-1830), Cut Nyak Dien di Aceh, perlawanan Suku Samin, dan masih banyak pemberontakan lain di tanah Hindia Belanda yang dilakukan oleh orang-orang pribumi. Bahkan pada waktu itu, sudah mulai terbentuk perkumpulan (organisasi) sebagai instrumen perjuangan, salah satunya adalah Jong Java, Jong Madura, Jong Sunda, Jong Bali, Jong Sumatera, dan lain-lain. Akan tetapi perjuangan tersebut belum memunculkan adanya kesadaran nasional akan tetapi perjuangan yang mereka lakukan masih berbasis pada kedaerahan masing-masing. Kesadaran nasional diawali dengan adanya kebijakan politik etis (1901) yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.
Politik Etis dan Kesadan Kebangsaan
Banyak sejarawan maupun pemikir Indonesia yang mengatakan bahwa embrio dari Nasionalisme Indonesia (modern) adalah ditandai dengan adanya kebijakan politik etis yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Seperti uang logam yang mempunyai dua sisi yang berbeda, kebijakan politik etis juga dua muara yang berbeda pula, maka kemenduaan dalam politik etis merupakan ikhwal yang tidak terelakan. Relasi internal menjadi syarat utama dari kontradiksi internal yang saling menegasikan satu sama lain. Dalam catatan Takashi Shiraishi yang berjudul “Zaman Bergerak” menguraikan bahwa politik etis merupakan zaman modern (1997: 35-37). Semboyan dari zaman baru ini adalah “”kemajuan menuju modernitas” di tanah Hindia Belanda. Arti dari “kemajuan” ini memberi arah yang baru kepada rakyat Hindia, suatu arah yang belum ada pada zaman sebelumnya. Dalam bahasa Furnivall, zaman ini disebut sebagai zaman “ekspansi, efisiensi dan kesejahteraan”. Tentu saja kebijakan politik etis sebagai penanda dari zaman modern terdapat kausalitas di dalam dirinya.
Politik etis yang disebut sebagai politik balas budi, merupakan dorongan dari kaum liberal yang menguasai parlemen Belanda agar pemerintah kolonial membuat suatu kebijakan bertujuan untuk memajukan rakyat Hindia Belanda. Hal ini dilandasi oleh eksploitasi kekayaan alam dan rakyat pribumi telah menjadikan negeri Belanda makmur. Maka dari itu pemerintah kolonial perlu membuat suatu kebijakan yang bersifat “balas budi”, sehingga lahirlah politik etis. C.Th. van Deventer, merupakan pelopor dari kebijakan politik etis, yang berpandangan bahwa politik etis perlu memuat tiga hal (selanjutnya dikenal dengan Trilogi Van Devender) yang harus dipenuhi oleh pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia. Tiga hal tersebut adalah “pendidikan, irigasi dan transmigrasi.” Namun pendidikanlah menjadi faktor yang berpengaruh paling besar terhadap kemajuan berpikir masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan embrio dari kelahiran Nasionalisme Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Shiraishi (1997: 37), perluasan pendidikan gaya barat tidak hanya memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi juga menjadi alat utama untuk mengangkat bumiputera dan menuntun mereka menuju modernitas serta persatuan “Timur dan Barat.” Artinya, pendidikan yang pada mulanya ditujukan untuk menambah tenaga kerja administratif pemerintah kolonial, justru melahirkan kesadaran berpikir kaum pribumi karena keterbukaan akses pada konsep nasionalisme di dunia. Keterbukaan akses ini kemudian berhasil mencetak kaum terdidik yang mendorong terjadinya perubahan sosial karena adanya transformasi dari alam berpikir tradisional menuju alam berpikir modern. Kaum terdidik yang lahir dari pendidikan barat tersebut merupakan bagian dari masyarakat yang paling awal memiliki kesadaran tentang kedudukan mereka dalam sistem kolonial, hingga pada gilirannya mereka berhasil menggantikan posisi kaum elit lama yang yang diwakili oleh kaum bangsawan pribumi.
Kesadaran intelektual menjadi modal paling kuat dalam membangun kekuatan pergerakan kebangsaan. Lahirnya media cetak, merupakan alat transformasi gagasan dalam masyarakat. Melalui media cetak pula, pemahaman atas bangsa menjadi mudah ditransformasikan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Selain itu, media cetak sebagai wujud perkembangan teknologi yang sekaligus menjadi prasayarat berkembangnya industrialisasi dan modernisasi, justru memberikan jalan keluar bagi masyarakat pribumi untuk menerima keterbukaan informasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya media cetak sebagai wujud perkembangan tekhnologi adalah boomerang bagi bangsa kolonial, dengan kata lain bahwa kolonialisme di Indonesia telah menggali liang kuburnya sendiri.
Munculnya kaum intelektual yang lahir dari pendidikan barat telah menggeser kaum elit lama beserta gagasannya yaitu melawan kekuatan kolonial secara sektoral dan kesukuan ke tangan kaum elit baru dengan makna nasionalisme yang modern. Hal ini sekaligus beriringan dengan berdirinya organisasi modern yang diinisiasi oleh kaum cendekiawan. Boedi Oetomo (BO) yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, merupakan organisasi modern pertama di tanah Hindia Belanda yang didirikan oleh kaum bumiputera, yakni Dr. Soetomo. Kelahiran Boedi Oetomo, kemudian sampai hari ini dikenal sebagai “Hari Kebangkitan Nasional.” Sebagai organisasi modern pertama di tanah Hindia Belanda, Boedi Oetomo merupakan embrio dari lahirnya organisasi-organisasi modern lainnya, seperti Sarekat Islam (1912) merupakan cikal bakal lahirnya Partai Sarekat Islam yang dipelopori oleh Hos Cojkroaminoto, Indische Partij yang didirikan oleh Douwes Dekker (Multatuli), Soewardi Soerjadiningrat (Ki Hadjar Dewantara), dan Tjipto Mangunkusumo pada tahun 1912. Selain itu juga terdapat ISDV yang didirikan oleh Henk Sneevliet (1915) merupakan cikal bakal dari Partai Komunis Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia yang didirikan Oleh Soekarno pada tahun 1926, serta Partindo.
Sejumlah organisasi modern tersebut, kendati terdapat corak perbedaan dalam perjuangannya, namun kesemuanya mempunyai persamaan untuk mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan. Di era kemunculan organisasi-organisasi yang disebutkan di atas, terdapat konsepsi yang menandai perbedaan makna nasionalisme dengan generasi sebelumnya. Nasionalisme Indonesia modern mengandung tiga unsur prinsipiil, yaitu self-determination (penentuan nasib sendiri), self-goverment (berpemerintahan sendiri), dan persatuan nasional. Hal ini menuai pembuktian sejak dikumandangkannya hari kebangkitan nasional (20 Mei 1908) semangat perjuangan nasional telah memuncak dengan di deklarasikannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang menyatakan “berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu.”
Nasionalisme Indonesia sebagai Antitesis Kolonialisme
Seperti yang sudah dijelaskan pada alinea di atas, bahwa nasionalisme Indonesia tidak lahir dari ruang kosong, melainkan ada sebab yang mendahului dirinya. Praktik-praktik penjajahan di tanah Hindia Belanda dan adanya kesadaran kaum bumiputra untuk mewujudkan tata masyarakat yang merdeka dengan mendasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan tanpa ada penindasan merupakan dasar daripada nasionalisme Indonesia itu lahir. Kendati, jika kita membaca sejarah kelahiran nasionalisme dunia eropa yang semula mengusung prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia kemudian berubah wujud menjadi nasionalisme yang chauvinis dan fasis dengan menganggap bangsa sendiri lebih unggul daripada bangsa asing. Seperti halnya nasionalisme Hitler dengan fasisme-nya telah menganggap bangsa arya lebih unggul daripada bangsa lain. Penaklukan terhadap bangsa lain pun semakin tidak terelakan. Maksud dari nasionalisme Indonesia tidaklah demikian, selain sebagai antitesa dari kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, nasionalisme Indonesia juga mendasarkan dirinya prinsip-prinsip kemanusiaan. Hal ini kemudian dikenal sebagai Sosio-Nasionalisme.
Nasionalisme yang sejati, yang cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka –nasionalisme yang bukan chauvinis– tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengecualian yang sempit budi itu‖ (Soekarno, 1965: 5). Sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan nasionalisme ekonomi –suatu nasionalisme yang mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki (Soekarno, 2005: 173). Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya‘ atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia… Nasionalisme kita haruslah lahir daripada “menselijkheid.” Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan – begitulah Gandhi berkata. Nasionalisme kita oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan perkataan baru kami sebutkan: Sosionasionalisme (Fikiran Ra‘jat, 1932).
Berangkat dari kondisi bangsa Indonesia yang terjajah, dan penjajahan itu justru hadir sebagai akibat dari ultra-nasionalisme bangsa Eropa, maka lahirlah semangat nasionalisme Indonesia yang mempunyai perbedaan dengan nasionalisme Eropa. Nasionalisme yang sejati bukan semata-mata merupakan suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan (Soekarno, 1965: 5). Sosio-Nasionalisme yang merupakan perasan dari Pancasila (Trisila) yang memuat dimensi atau sila kedua dan ketiga dalam Pancasila. Sehingga nasionalisme Indonesia tidaklah sekedar rasa cinta tanah air dan persatuan nasional yang seringkali dimaknai dengan “NKRI harga mati”. Namun dalam mewujudkan persatuan Indonesia tetah utuh harus berbasiskan pada kemanusiaan (sila ketiga) yang adil dan beradab. Maksudnya adalah sebuah bangsa yang menolak dengan tegas adanya penjajahan yang dilakukan oleh bangsa atas bangsa dan penjajahan atas bangsa sendiri.
Nasionalisme yang berperikemanusiaan tersebut menjadi landasan bahwa cita-cita revolusi Indonesia tidak sebatas meraih kemerdekaan politik semata, namun lebih dari itu, agenda revolusi kemerdekaan haruslah sampai pada perjuangan keadilan dan kebebasan yang sesuai dengan kodrat manusia dan hak asasi manusia. Oleh karenanya Sosionasionalisme pada akhirnya akan melahirkan Sosiodemokrasi. Suatu demokrasi yang tidak mengabdikan dirinya pada kepentingan suatu golongan, tetapi mengabdi pada kepentingan masyarakat. Sosiodemokrasi, dikatakan oleh Soekarno, timbul karena adanya Sosionasionalisme, oleh karena Sosionasionalisme dan Sosiodemokrasi adalah dua azas yang bersumber dari satu nafas, yaitu the Social Concience of Man (Tuntutan Budi Nurani Manusia) (Wuryadi, dkk., 2004: 11). Dengan demikian, masyarakat memiliki partisipasi dalam penentuan kebijakan politik serta membuka partisipasi rakyat dalam mengolah perekonomiannya, yaitu ekonomi yang menempatkan mayoritas rakyat dalam mengontrol sumber-sumber dan aset-aset, serta menolak kepemilikan pribadi terhadap aset-aset yang memiliki kemampuan mencukupi kebutuhan hajat hidup orang banyak dan monopoli perorangan terhadap ekonomi (Soyomukti, 2008: 199).
Nasionalisme Sebuah Proyek Masa Depan
Ben Anderson, dalam bukunya yang berjudul “Nasionalisme Indonesia: Kini dan Masa Depan, mengatakan bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwarikan dari masa lampau, namun lebih pada sebuah proyek bersama (Common Project) untuk kini dan di masa depan (1999:5). Maksud dari pernyataan Anderson tersebut, ikhwal kelahiran nasionalisme bukan bermaksud tidak ada latar historis yang mengkondisikannya. Akan tetapi titik tekan yang hendak disampaikan oleh Anderson, agar kita sebagai generasi penerus bangsa tidak terjebak pada romantisme sejarah. Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang selalu di elu-elukan, sebagai misal, namun kita abai dengan kondisi hari ini. Tentu saja pernyataan ini bukan bermaksud menegasikan realitas historis. Akan tetapi pembacaan atas sejarah adalah sebagai kritik, atas pola perubahan yang terjadi, sehingga untuk kedepannya dapat ditata menjadi lebih baik.
Bahkan kelahiran nasionalisme Indonesia pada masa penjajahan, selain sebagai antitesa daripada penjajahan juga sebuah proyek untuk membangun masa depan (Indonesia) yang berlandaskan pada tata kehidupan yang adil dan beradab. Orientasi mereka adalah menuju masa depan dan basis sosialnya adalah para pemuda. Bahkan hingga saat ini, kekuatan politik istimewa yang dimiliki mahasiswa terletak pada posisi sosial mereka sebagai simbol masa depan (Anderson. 1999: 6). Jika nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk kini dan masa depan, maka tidak akan pernah mengenal garis final, sehingga, nasionalisme harus diperjuangkan dalam setiap generasi. Pada titik ini, gagasan mengenai masa depan Indonesia dan Nasionalisme perlu pula mengulas tantangan dimasa sekarang dan yang akan datang.
Tantangan Nasionalisme di Masa Sekarang
Saat ini dengan adanya kemajuan zaman bangsa Indonesia telah kehilangan karakter kebangsaannya. Hal ini mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami beberapa krisis. Krisis-krisis kebangsaan ini menurut Siswono Yudo Husodo. Krisis berupa krisis identitas, krisis ideologi, krisis kepercayaan, krisis semangat kebangsaan, krisis sistem politik, krisis kesejahteraan rakyat, krisis kedaulatan ekonomi dan krisis lingkungan alam. Setiap krisis ini memang sangat mempengaruhi kondisi bangsa Indonesia saat ini termasuk diantaranya kondisi nasionalisme dan karakter bangsa ini sendiri. Melihat tentang karakter bangsa Indonesia harusnya nilai-nilai karakter ini berasal dari nilai-nilai Pancasila yang merupakan landasan filosofis bangsa Indonesia. Siswono Yudo Husodo menyampaikan bahwa Negara membutuhkan landasan filosofis berbangsa dan bernegara. Tanpa sebuah landasan filosofis negara akan bergerak seperti layangan putus, tanpa pedoman. Nasionalisme berada dalam kepungan tiga gejala besar yang mengancam eksistensinya yakni globalisme, etnonasionalisme dan fundamentalisme (Masykur. 2011: 153).
Globalisme dan fundamentalisme merupakan ancaman yang datang dari luar sedangkan etnonasionalisme datangnya dari dalam. Etnonasionalisme adalah gerakan yang mengusung etnisitas sebagai basis untuk mengklaim hak membentuk pemerintahan sendiri. Pola gerakan ini sering dilakukan dengan cara konflik kekerasan, sehingga dinamakan dengan konfik etnis. Bentuk self rule yang paling ambisius adalah tuntutan negara nasional yang terpisah. Etnonasionalisme menjadi salah satu ancaman serius nation state modern. Etnonasionalisme muncul sebagai arus gerakan yang bermuara dari kelemahan watak dasar nation state itu sendiri. Nation state berangkat dari asumsi bahwa negara terbentuk dari sebuah bangsa yang berhak atas pemerintahan sendiri. Etnonasionalisme disebut kelompok separatis, maka potensi dari jumlah mereka sesungguhnya sangat besar karena fakta bahwa hampir semua negara modern bersifat multinasional.
Nasionalisme di Indonesia mengalami fase-fase genting ketika gerakan etnonasionalisme mendera Aceh, Papua, dan wilayah-wilayah pinggiran lainnya. Sentimen etnis tidak pernah tidur di Indonesia. Hal ini bisa bangkit dan meledak setiap saat begitu disulut oleh faktor lain, terutama ketimpangan sosial dan ekonomi. Selain itu ada juga etnosentrisme yaitu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, yang terbaik, mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk membedakannya dengan kebudayaan lain. Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangannya sebagai tolak ukur untuk menilai kelompok lain. Apabila tidak dikelola dengan baik, perbedayaan budaya dan adat istiadat antarkelompok masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik sosial akibat adanya sikap etnosentrisme. Sikap tersbut timbul karena adanya anggapan suatu kelompok masyarakat bahwa mereka memiliki pandangan hidup dan sistem nilai yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya atau kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, yang terbaik, mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk membedakannya dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme merupakan gejala sosial yang bersifat universal dan secara tidak sadar telah dilakukan. Etnosentrisme merupakan bagian dari masalah sosial yang sebaiknya dihindari karena dapat memecah persatuan dan kesatuan. Etnosentrisme terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Sumber utama perbedayaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka makin dekat mereka dengan kita, makin besar ketidaksamaan makin jauh mereka. Etnosentrime sebagaimana dalam pemikiran Bambang Rustanto (2015: 46), memiliki dua tipe yang satu sama lain berlawanan yaitu sebagai berikut:
- Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
- Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrime ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultural yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan idntitasnya. Etnosentrisme fleksibel penting dimiliki dalam msayarakat multikultural seperti Indonesia maka diperlukan upaya-upaya untuk memperkuatnya. Menurut Matsumoto ada tiga cara yang bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, mengetahui bagaimana cara kita memahami realitas sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam cara tertentu. Contoh mengerti bagaimana sikap dalam melakukan ketidaksopanan sebab apa yang sopan menurut budaya kita mungkin saja bukan merupakan kesopanan dalam budaya yang lain. Kedua, mengakui dan menghargai kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari latarbelakang budaya yang berbeda memiliki perbedaan cara dalam memahami realitas, dan bahwa versi mereka tentang realitas adalah sah dan benar bagi mereka sebagaimana versi kita sah dan benar untuk kita. Ketiga, mengetahui mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Setiap orang juga harus bisa belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya. Etnoesentrisme membawa dampak, baik dampak positif maupun dampak sebagai berikut:
- Dampak positif jika etnosentrisme dapat menimbulkan solidaritas kelompok yang sangat kuat. Buktinya adalah hampir setiap individu merasa bahwa kebudayaannya adalah hal yang paling baik dibanding kebudayaan lain.
- Dampak negatif jika suatu suku bangsa menganggap suku bangsa lain lebih rendah, maka akan menimbulkan konflik yang bisa menjerumus kedalam kasus SAR. Selain itu dampak negatif yang lebih luas dari sikap etnosentrisme adalah terhambatnya proses integrasi nasional.
Globalisasi berbeda dengan Globalisme. Menurut steger globalisasi adalah proses material dan sosial yang didefenisikan oleh berbagai kalangan secara beragam dan sering salin bertentangan. Sementara globalisme adalah paket retoris yang berwujud ideologi pasar neoliberal yang memberikan norma, nilai, dan makna-makna tertentu terhadap globalisasi. Sebagai ideologi, globalisme tidak hanya memberikan deskripsi tetapi juga preskripsi. Hal tersebut tidak sekedar melukiskan apa yang tengah terjadi tetapi lebih dari itu memberikan skema tentang apa yang seharusnya terjadi. Secara umum globalisasi terjadi dalam ranah, ekonomi, politik, kultural. Secara ekonomis, globalisasi berdampak pada intensitas jaringan ekonomi global yang melintasi batas-batas konvensional negara-bangsa. Secara politik globalisasi melahirkan institusi pengaturan transnasional baru yang semakin menisbikan arti penting kedaulatan negara-bangsa. Secara kultural, gobalisasi menghembuskan arus penyeragaman budaya yang mencerabut kebudayaan dari konteks mapan lokasi kebudayaan yang dilekati konotasi lokasi seperti kebudayaan daerah, kebudayaan nasional, dan seterusnya akan ditekan oleh arus kebudayaan sejagat. Dalam ranah budaya, globalisasi telah menciptakan cita rasa baru. Membanjirnya produk-produk impor telah membentuk tren budaya baru. Pusat-pusat kebudayaan baru muncul di kafe-kafe dan restoran cepat saji. Anak-anak mudah lebih akrab dengan makanan asing ketimbang makanan tradisional.. Kemudian permasalahan selanjutnya adalah Negara Khilafah.
Negara khilafah adalah terminologi yang mewakili asumsi tentang sistem politik dari pada formulasi politik. Oleh para pejuangnya, nasionalisme dianggap sebagai pengalaman yang tipikal barat, yang secara normatif dan empiris merujuk pada latar sejarah Eropa Kristen. Ketegangan antara Islam dan Nasionalisme bersumber dari perbedaan epistemologis yang lahir dari latar belakang historis. Nasionalisme lahir dari asumsi pemisahan agama dan negara dalam formasi nation-state, sementara dalam Islam, sekurang-kurangnya menurut sebagian pemeluknya, tidak dikenal sekularisme. Dilihat dengan kondisi sejak bangsa ini terbentuk merupakan buah dari perjuangan semua golongan, tidak hanya golongan islam saja namun seluruh golongan mengambil peran yang sangat penting. Dengan dasar Bhineka Tunggal Ika seharusnya sudah persatuanlah yang dikedepankan bukan kemauan suatu golongan yang nantinya akan merugikan golongan yang lain.
Dalam kepustakaan ilmu sosial pembahasan tentang nasionalisme berlangsung dalam dua aras yaitu gagasan atau ideational dan kebijakan atau struktural. Pada aras gagasan, nasionalisme dianalisis sebagai state of mind atau sebagai perwujudan kesadaran nasional dari para individu anggota suatu bangsa. Anderson misalnya mendefinisikan bangsa sebagai imginited political community. Persoalan penciptaan solidaritas nasional digambarkan sebagai proses pengembangan imajinasi dikalangan anggota masyarakat tentang komunitas mereka. Contoh penciptaan solidaritas nasional digambarkan sebagai proses pengembangan imajinasi dikalangan anggota masyarakat tentang komunitas tentang komunitas mereka sehingga orang Aceh yang tidak pernah berkunjung ke Papua bisa mengembangkan kesetiakawanan terhadap sesama anggota komunitasnya itu. Pada aras struktural atau kebijakan, nasionalisme dipahami sebagai suatu bentuk perpolitikkan. Nasionalisme merupakan bagian dari fenomena politik karena politik adalah tentang kekuasaan dan kekuasaan berkaitan dengan persoalan pengendalian negara maka nasionalisme selalu berkenaan dengan perkara memperoleh dan menggunakan kekuasaan negara. Nasionalisme didefinisikan sebagai gerakan politik yang berusaha memperoleh dan menerapkan kekuasaan negara dan memberi pembenaran terhadap tindakan tersebut dengan argumen-argumen nasionalis. Argumen nasionalis yang dipakai sebagai pembenar pada dasarnya adalah doktrin politik yang didasarkan pada tiga pernyataan dasar (Armaiwi & Amal. 1998: 211). Pertama pernyataan yang menegaskan eksistensi suatu bangsa dengan karakter yang jelas dan khas. Kedua, statement yang meneguhkan bahwa kepentingan dan nilai bangsa ini lebih utama dari pada kepentingan dan nilai-nilai lain, baik yang datang dari kelompok-kelompok sempit dalam negeri maupun kepentingan supranasional. Dan ketiga argumen bahwa bangsa yang bersangkutan harus merdeka dan untuk itu bangsa tersebut paling tidak harus memiliki kedaulatan politik.
Sebagai kesadaran individual maupun sebagai kebijakan politik nasionalisme bukan fenomena yang statik. Dalam perkembangannya nasionalisme dipengaruhi oleh konteks internasional yang melingkupinya dan yang paling dinamik dari konteks itu adalah dimensi ekonomi politiknya. Varian nasionalisme apa yang muncul dalam satu kurun waktu disuatu masyarakat banyak ditentukan oleh konteks itu. Apakah dalam suatu negara akan berkembang varian nasionalisme yang voluntaristiki atau yang deterministik tergantung pada sifat tantangan yang dihadapi oleh masyarakatnya ketika bersntuhan dengan sistem internasional yang melingkupinya. Program nasionalis yang muncul menanggapi tantangan global itu bisa dikalsifikasikan kedalam posisi berikut. Pertama zero-sum natinalism yaitu posisi dari mereka yang ingin agar pemerintah mengutamakan kepentingan nasional, walaupun itu bisa menimbulkan kerugian pada negara lain. Kedua adalah posisi laissez faire cosmopolitanisme yang menegaskan bahwa pemerintah harus minggir dari arena ekonomi, nasional maupun internasional. Dan ketiga adalah positive economic nationalism yang menyarankan agar setiap negara memikul tanggung jawab meningkatkan secara optimal kemampuan anggota masyarakatnya sehingga mencapai kehidupan yang produktif, tetapi bersamaan dengan itu bekerjasama dengan negara-negara lain untuk menjamin agar peningkatan itu tidak merugikan bangsa-bangsa lain.
Peningkatan intensitas globalisasi menurut jalan kapitalis itu mempunyai potensi besar untuk memperburuk ketimpangan sosial ekonomi. Dalam keadaan seperti ini orang akan kembali mencari pegangan kepaham nasionalisme karena nasionalisme bisa memberikan identitas yang lebih teguh dan lebih bermakna dari pada ikatan-ikatan sosial seperti kelas dan asosiasi kepentingan materil lain. Nasionalisme bukanlah patalogi dari jaman modern, nasionalisme mungkin justru bisa mengajukan jawaban terhadap berbagai penyakit modernisme, seperti aliensi, kecemasan, phobia, perasaan sebagai orang yang tak berguna dan berbagai gangguan kejiwaan yang lain. Selain itu karena setting atau konteks kelembagaan nasionalis itulah yang paling dikenal oleh sebagian besar manusia. Walaupun ada beberapa setting lain yang bisa membantu manusia mencapai tujuan hidupnya yang paling domina dalam wacana umum masa kini adalah pasar dan negara bangsa. Nasionalisme adalah doktrin yang paling siap sebagai alternatif pasar.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. 1999. (diterjemahkan dari “Nationalism Today and in the Future” dari New Left Review I/235 May-June 1999. Oleh : Bramantya Basuki).
___________ 2008, Imagined Communities; Komunitas – Komunitas Terbayang, Insist dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Armawi, Armaidy dan Ichasul Amal. Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1998.
Budi Utomo, Cahyo. 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia; Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan, IKIP Semarang Press, Semarang.
Budiman, Arief. 2002. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. PT. Gramedia Utama. Jakarta
Kohn, Hans. 1958, Nasionalisme, Arti dan Sedjarahnja, (terj. Sumantri Mertodipuro), PT. Pembangunan, Jakarta.
Machiavelli, Nicolo. 1991. Sang Penguasa, (terj. Woekirsari), PT. Gramedia. Jakarta
Masykur, Ali. 2011. Nasionalisme di Persimpangan. Jakarta: PT Erlangga.
Riff, A. Michael, (ed). 1995, Kamus Ideologi Politik Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Rustanto, Bambang. Masyarakat Multikultur di Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2015.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. (terj. Hilmar Farid). PT. Pustaka Utama Grafindo. Jakarta
Smith, D. Anthony. 2010, Nationalism, Polity Press, London.Sigit Prabowo, Yulianto. 1998, Marhaenisme dalam Obsesi dan Konsepsi Pemikiran Politik Soekarno, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Soekarno. 1965, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Panitya Penerbit, Jakarta.
Soyomukti, Nurani. 2008, Soekarno dan Nasakom, Garasi, Yogyakarta.
Wuryadi, dkk. 2004. Perspektif Pemikiran Bung Karno. Lembaga Putra Fajar. Jakarta.
Yatim, Badri. 2001, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Nuansa, Bandung.