Oleh: Arya Syailendra
Pemilu tahun 2024 diselenggarakan secara serentak. Selain pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif, ditahun yang sama juga diselenggarakan pilkada serentak. Perencanaan yang matang perlu dipersiapkan mulai dari penyelenggaraan, data pemilih dan pengawasan pemilu. Pemilu merupakan bagian penting dalam menjaga demokrasi yang stabil dan berkualitas. Dalam penyelenggaraan pemilu, perlu adanya pengawasan atas informasi yang beredar di masyarakat yang tidak luput hoaks (berita palsu), misinformasi dan disinformasi.
UNESCO dalam publikasinya berjudul Journalism, Fake News and Disinformation yang diterbitkan tahun 2018 mengkategorikan hoaks atau kabar palsu menjadi tiga kategori diantaranya misinformasi, disinformasi dan malinformasi.
Misinformasi adalah informasi yang salah namun dipercayai kebenarannya oleh pihak yang menyebarkan informasi tersebut. Misinformasi disebarkan dengan sengaja atau tanpa sengaja untuk mengacaukan bahkan menyesatkan publik. Misinformasi bisa mengandung kontroversi namun dianggap memiliki kebenaran apabila informasi tersebut dikaitkan dengan mitos-mitos seputar kehidupan seperti kesehatan, astrologi, sains dan dunia hiburan yang masih belum valid dalam bukti dan namun dipercaya masyarakat.
Pemilihan waktu pemilu yang jatuh pada 14 Februari 2024 yang bertepatan dengan peringatan Valentine (kasih sayang) misalnya disinyalir akan memberikan pengaruh penuh kasih sayang dalam pengawasan Pemilu nantinya. Namun hal ini tidak sepenuhnya benar karena pengawasan pemilu harus dipersiapkan dengan baik tanpa melihat waktu penyelenggaraan bertepatan atau pun tidak dengan peringatan suatu hal.
Penggunaan kata “hanya mengingatkan” dan “untuk berjaga-jaga” merupakan frasa yang sering
mengawali misinformasi dalam suatu berita. Disinformasi adalah berita bohong yang disengaja dan disebarkan secara aktif oleh pihak yang bertujuan merusak informasi yang diterima oleh masyarakat. Kebohongan disebarkan dengan mengaitkan berbagai aspek informasi seperti pemanasan global, propaganda politik dan black campaign.
Disinformasi sengaja dibuat oleh pihak tertentu untuk membuat publik bingung dan bertujuan untuk menciptakan chaos. Pihak yang menyebarkan disinformasi seringkali membubuhi kampanye politik dengan informasi disponsori negara atau kubu tertentu. Penyebaran informasi tersebut semakin massif dengan memanfaatkan buzzer dengan menaikkan tagar di media sosial dengan tujuan trending topic yang fakta sebenarnya belum tentu kebenarannya.
Pemilihan Umum Indonesia 2024 dikaitkan dengan peran Amerika Serikat atau Tiongkok yang dihadirkan secara “cocoklogi” dengan kompetisi USA vs China yang berebut pengaruh negara-negara didunia. Penggunaan kata “agenda Yahudi”, “Elite Global” sering kali menjadi frasa mengawali disinformasi dalam berita.
Malinformasi adalah informasi yang mempunyai unsur kebeneran berdasarkan penggalan fakta yang dihadirkan namun penyajian beritanya dikemas untuk merugikan pihak lain tanpa berorientasi kepentingan publik. Malinformasi sengaja dibuat oleh pihak tertentu untuk menyerang individu lain dengan tujuan mengiring opini publik agar tidak percaya terhadap individu tersebut bahkan mengalihkan dukungannya kepada pihak lainnya. Malinformasi banyak ditemukan pada saat pra penyelenggaran, proses pemilu berlangsung dengan nada tendensius yang sama halnya dengan black campaign. Pemilihan Calon Presiden 2024 dikaitkan dengan berita di masa lalu yang dikemas dalam berita baru dengan tujuan menurunkan elektalibilitas dan dukungan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden. Penggunaan kata-kata seperti “5 fakta tersembunyi” atau “10 dosa yang dilakukan” merupakan frasa yang sering menjadi awalan dari misinformasi berita yang harus diwaspadai saat berlangsungnya pemilihan umum.
Potensi merebaknya hoaks pada pemilu 2024 mendatang harus menjadi urgensi pengawasan pemilu yang dapat dicegah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu perlu melakukan penguatan kebijakan dengan menerbitkan aturan teknis pengawasan kampanye di media sosial. Melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang kampanye di media sosial, pendaftaran akun pasangan calon (paslon) dibatasi menjadi tiga akun. Namun, faktanya masih ditemui akun-akun yang tidak terdaftar yang mengatasnamakan paslon yang menyebarkan misinformasi, disinformasi dan malinformasi. Dalam perkembangannya, PKPU No 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, KPU membuka ruang lebih luas dengan memberikan batas 10 akun untuk setiap jenis aplikasi media sosial.
Januari 2023 silam, Bawaslu meluncurkan satuan tugas pengawas media sosial (medsos). Satgas medsos akan mengawasi unggahan di medsos yang dinilai berpotensi membuat polarisasi dan kegentingan menjelang pemilu 2024. Pembentukan satgas tersebut merupakan suatu respon yang baik atas ancaman hoaks yang marak muncul beriringan dengan adanya penyelenggaraan pemilu. Bawaslu perlu memastikan suatu unggahan tidak hanya membentuk polarisasi atau menciptakan kegentingan. Bawaslu perlu menentukan dengan tegas jika ditemukan unggahan media sosial yang mengandung Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA) secara langsung melakukan mekanisme take down unggahan tersebut. Bawaslu juga memperhatikan kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan merujuk Standar Norma dan Pengaturan Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi yang diterbitkan oleh Komnas HAM RI.
Mengutip penyataan yang dilansir Tempo.co (18 Desember 2022), Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja menjabarkan pihak yang tergabung dalam satgas pengawas media sosial Pemilu 2021 terdiri dari personel Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta tim siber Kepolisian RI. Kolaborasi antar pihak dalam pengawasan media sosial ini juga dapat melibatkan komunitas masyarakat anti-hoaks dan masyarakat Indonesia secara luas. Pelibatan masyarakat dan berbagai pihak dalam pengawasan Pemilu sesuai dengan Pengawasan partisipatif tertuang dalam peraturan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Pasal 448 ayat (3) menyatakan: “Bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah a) tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, b) tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, c) bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan d) mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.
Ancaman hoaks yang disertai muncul berbagai isu dan berita yang bersifat misinformasi, disinformasi dan malinformasi yang dapat ditanggulangi oleh Bawaslu dengan pembentukan satgas media sosial hendaknya menjadi urgenitas yang diperhatikan dalam pengawasan Pemilu 2024 tanpa menghilangkan kolaboratif antar pihak dan pelibatan aktif masyarakat didalamnya.